Nasib Profesor Indonesia (1)

Kamis, 25 Agustus 2016 | 06:00 WIB

Azyumardi Azra

Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Jokowi pekan lalu (18/8/2016) dilaporkan media massa tertentu sebagai ‘marah besar’. Penyebab ‘kemarahan’ Presiden itu adalah karena masih adanya orang-orang Indonesia berprestasi yang justru dimanfaatkan bangsa lain.

Presiden menyatakan: “Profesor kita di Amerika Serikat ada 74, pintar-pintar itu. Saya belum bicara [ada berapa] di China, di Jepang…Saya tidak mau yang berprestasi…justru tidak kita ambil, tak dimanfaatkan, justru digunakan oleh negara lain”.

Untuk itu, Presiden Jokowi berencana memulangkan orang-orang berprestasi [profesor] di AS itu; mereka akan diminta mengabdi di Papua.

Jokowi mengharap mereka—sudah 24 orang yang dihubungi—selain akan membantu Universitas Cendana dan Universitas Papua, juga mengembangkan pusat riset padi di Meurake, Papua.Jelas, profesor dan dosen Indonesia juga tidak hanya mengajar dan bermukim di Amerika. Mereka juga cukup banyak mengajar dan melakukan riset di berbagai universitas Australia, Inggris, Prancis dan negara-negara Eropa lain. Juga cukup mudah menemukan gurubesar—termasuk yang sudah emeritus—dan dosen Indonesia yang mengajar di pelbagai universitas di Malaysia dan Singapura.

Presiden Jokowi benar. Para gurubesar, dosen dan tenaga ahli lain sangat dibutuhkan Indonesia dalam pembangunan berbagai bidang. Negeri ini rugi jika keahlian mereka justru dimanfaatkan negara lain sehingga menciptakan brain-drain, pengeringan otak pintar. Jika mereka kembali, Indonesia mendapat brain-gain, perolehan otak pintar. Indonesia rugi dengan adanya profesor dan dosen yang mengajar di negara lain, karena pemerintah telah mensubsidi mereka sejak TK, pendidikan

dasar, menengah sampai S1 atau bahkan S2. Meski kebanyakan mereka menyelesaikan studi S2 dan S3 dengan dana beasiswa negara atau universitas asing tempat mereka belajar, Indonesia tetap saja mengalami kerugian.

Menurut data AMINEF/Fulbright sekitar 95 persen mahasiswa Indonesia yang berhasil menyelesaikan program S2 dan/atau S3-nya di Amerika kembali ke Tanah Air. Tingkat kembalinya ke Tanah Air (return rate) orang Indonesia yang tamat di Amerika, paling tinggi dibandingkan mereka yang berasal dari negara lain.

Sisanya, jelas cukup banyak; di antara mereka ada yang memutuskan mengajar dan menetap di AS—yang menurut Jokowi sekitar 74 profesor. Banyak pula di antara mereka yang menekuni berbagai pekerjaan profesional lain di perusahan dan/atau lembaga riset pemerintah dan swasta.

Kenapa tetap saja ada orang Indonesia yang kemudian memilih menjadi profesor atau dosen di berbagai universitas di Amerika atau bekerja di sektor lain ; tidak kembali ke Indonesia? Banyak faktor, antara lain; gaji yang relatif besar; jenjang karir yang jelas dan adil (fair); otonomi dan kebebasan mengajar dan berkarya akademis; dan fasilitas anggaran riset dan saranamemadai untuk berkarya.

Dilihat dari segi ini, menjadi pertanyaan besar apakah para profesor yang mengajar di berbagai tempat di luar negeri, bersedia ikhlas kembali ke Tanah Air? Apakah idealisme belaka untuk membangun negeri cukup menjadi faktor penarik (pull factor) bagi mereka meninggalkan tempat mereka bekerja di negara lain untuk kemudian mengabdi di Papua atau di tempat-tempat lain di Tanah Air yang memerlukan akselarasi pendidikan tinggi dan pembangunan.

Jawabannya agak bernada skeptis dan pesimistis. Karena itu, Presiden Jokowi boleh bersiap-siap untuk kecewa jika harapannya tadi tidak terpenuhi.

Kemungkinan kekecewaan Presiden Jokowi itu berdasarkan kenyataan—atau sedikitnya, kecenderungan—bahwa Profesor Indonesia (bersama dosen yang belum mencapai derajat tertinggi ini) agaknya merupakan kelompok ahli dalam dunia kepengajaran dan riset menghadapi karir dan kehidupan kian sulit. Dengan berbagai macam kesulitan yang mengandung ketidakpastian masa depan, gurubesar dan dosen yang kini mengajar di luarnegeri agaknya mesti berpikir berkali-kali sebelum mengambil keputusan.

Kesulitan-kesulitan gurubesar dan dosen di Indonesia bersumber dari berbagai kebijakan birokratisasi yang dikeluarkan pemerintah—dalam hal ini Kemenristek-Dikti—terhadap Profesor alias gurubesar yang hari demi hari semakin membelenggu. Dengan belenggu yang kian ketat itu, nampaknya semakin sulit bagi para profesor dan dosen lain bisa melepaskan diri; mereka terlihat pasrah belaka.

Tidak banyak Profesor yang cukup berani menyatakan penolakan mereka terhadap berbagai kebijakan tersebut. Tidak juga rektor-rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN), apalagi pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Semuanya memilih diam; jika bersuara, paling menggerutu di belakang. Menjadi profesor atau dosen kini dapat dikatakan tidak nyaman.

Kebanyakan mereka bekerja dengan dibayangi tetek bengek kewajiban administratif dan teknis yang hampir tidak terkait dengan dunia keilmuan ilmiah dan akademik. Semua ini bersumber dari kebijakan atau pernyataan pejabat Kementerian yang bernada ancaman yang bagi sebagian Profesor dan dosen lain disebut sebagai ‘intimidasi’.

Red: Maman Sudiaman

Nasib Profesor Indonesia (2)

Thursday, 01 September 2016 | 06:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Jika Presiden Jokowi mengharapkan gurubesar (dan juga dosen yang belum profesor) yang mengajar di Amerika Serikat dan/atau negara-negara lain kembali ke Tanah Air (Resonansi pekan lalu (25/8/2016), pertimbangkanlah nasib profesor dan dosen di Tanah Air. Nasib yang boleh dibilang nelangsa, hampir bisa dipastikan membuat patah selera mereka yang mungkin punya niat kembali ke Tanah Air.

Simaklah kisah nyata ini. Dalam ujian disertasi doktor di sebuah PTN pekan lalu, penulis Resonansi ini yang turut menjadi salah seorang penguji menerima periwayatan sahih mutawatir dari beberapa profesor lain yang juga menguji.

Ini kisah nyata tentang absensi—semua profesor dan dosen lain harus membuktikan kehadirannya di kampus. Lazimnya dengan sidik jari (finger print) pada awal jam kerja di pagi hari dan akhir jam kerja di sore hari.

Ternyata finger-print tidak lagi memadai karena bisa ‘dikerjain’ melalui cara tertentu yang penulis Resonansi ini juga tidak paham. Karena itulah pembuktian kehadiran melalui finger-print mesti dilengkapi atau diganti dengan ‘irisan retina mata’ (eye scan/retinal screening/IRIS) yang ‘konon’ tidak bisa dikelabui.

Sang profesor menyampaikan riwayat. Pertama kali ketika retina matanya direkam dalam data base kehadiran, dia tidak memakai tutup kepala. Di hari berikut, ketika dia ingin merekam kehadiran lewat retina mata, mesin absensi ‘enggan’ mencatat kehadirannya karena dia memakai peci hitam. Memakai peci haji sekalipun juga ditolak.

Penggunaan retina mata untuk identifikasi (sebagai bukti kehadiran) ini jelas bahkan lebih ketat daripada skrining sekuriti di bandar udara. Sampai sekarang skrining di bandara umumnya masih konvensional dengan X-Ray; satu dua bandara terutama di AS memakai alat yang memutari sekujur tubuh (detection portal machine atau Explosive Tracen Detection/ETD).

Skrining dengan retina mata nampaknya juga belum lazim di markas lembaga keamanan nasional semacam FBI atau CIA di AS atau ASIO di Australia. Identifikasi karyawan cukup dengan ID resmi yang dikombinasikan dengan finger-print; untuk tamu cukup dengan dua ID Card yang ada fotonya. Karena itu, penggunaan finger-print—apalagi retina mata—untuk identifikasi kehadiran profesor dan dosen jelas berlebihan. Sejauh ini tidak ada universitas manapun di dunia ini yang memerlukan identifikasi finger print dan eye screening—yang degrading, merendahkan dan humiliating, menghinakan.

Apakah hal seperti ini bisa diterima orang Indonesia yang menjadi profesor di AS atau negara lain? Menjadi profesor di Amerika tidak memerlukan kehadiran setiap hari—apalagi jika mesti dibuktikan dengan finger-print dan/atau retina mata.

Mereka datang ke kampus hanya pada hari tertentu—dua atau tiga hari—pada jam tertentu untuk mengajar dan menerima mahasiswa berkonsultasi di kantor masing-masing selama satu atau dua jam.

Dengan begitu, para profesor memiliki banyak waktu untuk membaca, menulis dan melakukan penelitian, apakah di rumah, di kantor, atau di perpustakaan atau di lapangan. Semua kegiatan ini dimungkinkan karena dana penelitian melimpah baik dari universitas dan lembaga pemerintah atau swasta.

Berapa banyak profesor dan dosen lain di Indonesia yang mempunyai kantor di kampus? Bisa dipastikan mayoritas terbesar—antara 80 sampai 90 persen—tidak punya kantor. Perencanaan pembangunan gedung kampus Indonesia lazim tidak memprioritaskan penyediaan kantor profesor dan dosen lain.

Karena itu, kebanyakan mereka menerima konsultasi mahasiswa di rumah masing-masing atau di ruang bersama dosen atau di kelas seusai memberi kuliah. Dengan keadaan ini, bagaimana mereka bisa membaca, menulis, dan meneliti secara kondusif. Rumah tidak selalu kondusif; apalagi bagi profesor dan dosen lain yang hanya mampu memiliki rumah sederhana—jika tidak ‘sangat sederhana’.

Di tengah suasana tidak kondusif, para profesor dituntut menulis setidaknya dalam setahun satu artikel ilmiah di jurnal internasional. Ini bukan tantangan mudah, karena jurnal internasional umumnya berbahasa asing. Rata-rata profesor dan dosen Indonesia lemah dalam bahasa asing.

Lagi pula jurnal internasional yang benar-benar kredibel sangat kompetitif. Jika artikel yang dikirimkan dinilai blind reviewer (penilai ‘buta’) tidak mengandung hal baru, bisa dipastikan artikel tersebut ditolak. Karenanya artikel itu harus berdasarkan penelitian serius; bukan penelitian berdana DIPA yang jauh daripada memadai untuk membiayai penelitian serius.

Tidak ada empati di sini. Sebaliknya profesor yang gagal menerbitkan artikelnya di jurnal internasional sampai akhir 2017 mendapat ‘ancaman’ dari Kemristek-Dikti bakal dicabut tunjangan kehormatannya—besarnya dua kali gaji pokok yang sekitar Rp 5 jutaan.

Jika keadaannya begini, masih bisakah Presiden Jokowi optimistis merepatriasi profesor asal Indonesia di AS atau negara lain untuk kembali ke Tanah Air? Wallahu a’lam bish-shawab.

Red: Maman Sudiaman