Tunjangan Fungsional Peneliti :

Peneliti Utama Rp. 1.400.000,–
Peneliti Madya Rp. 1.200.000,–
Peneliti Muda Rp. 750.000,–
Peneliti Pertama Rp. 325.000,–

Pada tahun 1983 tunjangan Ahli Peneliti Utama (APU) sebesar Rp 900.000, dua kali lipat tunjangan pejabat Eselon I. Namun kini, tunjangan APU hanya naik jadi Rp 1,4 juta, sedangkan Eselon I telah menjadi Rp 5,5 juta. Kondisi ini mendorong peneliti menjalani pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan tidak sedikit yang keluar atau bekerja di perusahaan swasta.
Lampiran Perpres No. 30 tahun 2007 tentang Tunjangan Fungsional Peneliti

Suara Floor untuk Perbaikan Nasib Peneliti Indonesia di tahun 2009
http://www.ristek.go.id/makalah-menteri/index.php/2008/12/12/suara-floor-untuk-perbaikan-nasib-peneliti-indonesia/

Coba anda bayangkan, jika anda sebagai peneliti yang sedang bekerja di suatu laboratorium harus “direcokin” dengan kebutuhan dasar hidup. Apalagi biaya pendidikan anak-anaknya semakin mahal, jangan heran kalau ada para peneliti terpaksa harus “menggadaikan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan” untuk meminjam uang ke bank atau hidup dengan metode “buka dan tutup lubang” diberbagai tempat demi menyambung hidup. Mereka harus berkerja sampingan untuk menutupi kebutuhan hidup. Kadang mereka bekerja sesuai kepakarannya namun bersifat “swasta” atau diluar kepakarannya.

Mereka hidup di dua alam diantara “keprofesionalisme profesi” atau “kebutuhan dasar hidup”. Jarang para profesional peneliti terlibat dari unsur korupsi atau plagiat karena telah mempunyai kode etik profesi. Mereka murni bekerja atas dasar keingintahuan dari suatu fenomena disekitar sehingga dapat menciptakan atau juga memberikan solusi pasti masalah-masalah di masyarakat. Maka sangat disayangkan kalau para kaum intelektual ini yang berpendidikan S1, S2, S3 atau post doctoral program harus berputar otak bagaimana memenuhi kebutuhan dasar hidup keluarga selain salary utama di kantornya.

That’s the fact of life, my friends…….We must realize it

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

http://www.ristek.go.id/makalah-menteri/index.php/2008/12/17/betulkah-rencana-kenaikan-tunjangan-peneliti-tidak-jadi-karena-krisis-ekonomi/
Jawaban dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi (oleh Benyamin Lakitan, Sekretaris Menteri Negara Riset dan Teknologi):

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan peneliti pada awalnya memang diarahkan untuk meningkatkan Tunjangan fungsional Peneliti dengan memanfaatkan momentum keputusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan 20% APBN mulai tahun 2009 dialokasikan untuk sektor pendidikan.

Argumen yang digunakan adalah bahwa penelitian merupakan bagian integral dari pendidikan, sebagaimana yang tersurat pada Tridharma Perguruan Tinggi. Akan tetapi ada kendala administrasi keuangan yang mengatur bahwa tunjangan fungsional merupakan komponen gaji pegawai yang harus dianggarkan pada kementerian/lembaga tempat yang bersangkutan bertugas. Dengan demikian peneliti yang bukan pegawai Depdiknas tidak dapat menggunakan anggaran pendidikan (yang 20% APBN tersebut) yang ditempatkan di Depdiknas.

Solusi terbaik yang mungkin diambil adalah menyediakan paket penelitian di Depdiknas yang diperuntukkan kepada peneliti non-diknas, termasuk peneliti LIPI tentunya. Informasi terakhir, paket penelitian ini tersedia sebesar Rp. 50 juta/peneliti, di mana 3-5 peneliti dapat bergabung melaksanakan satu kegiatan riset, sehingga anggaran per kegiatan riset berkisar antara Rp. 150-250 juta. Dalam rincian biaya riset tersebut tentu termasuk honorarium peneliti, sehingga bisa menjadi tambahan pendapatan peneliti. Salam,
BL

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Menggagas Peningkatan Kesejahteraan Peneliti

Selasa, 15 September 2009 00:01 WIB
Tahun 2009 boleh jadi merupakan tahun yang sangat membahagiakan bagi guru dan dosen karena pada tahun ini pemerintah menaikkan tunjangan guru dan dosen. Kondisi ini bertolak belakang dengan yang dialami oleh peneliti dan perekayasa. Tahun 2009 bagi peneliti dan perekayasa tidak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya.
Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meningkatkan kesejahteraan peneliti di Indonesia ketika menghadiri panen raya di LIPI Sukamandi pada awal 2008 atau yang lebih dikenal dengan ‘Janji Sukamandi’ belakangan ini mencuat lagi ke permukaan. Hal ini dipicu dengan meningkatnya tunjangan guru dan dosen pada tahun 2009, sedangkan tunjangan peneliti dan perekayasa masih tetap.

Kesetaraan kesejahteraan
Secara relatif, tunjangan fungsional tenaga peneliti dan perekayasa di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan tanggung jawab dan beban tugasnya sebagai tenaga ahli di bidangnya. Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya penghargaan terhadap orang-orang pintar sehingga kebanyakan peneliti yang tidak lagi muda sudah berpikir lebih realistis, dengan alasan ekonomi, mereka memilih menjadi periset paruh waktu. Sebagai contoh kasus yang baru terjadi, yaitu sekitar 600 ilmuwan potensial Indonesia saat ini memilih bekerja di perguruan tinggi dan lembaga riset asing di luar negeri.

Di lihat dari pendapatan bersih (take home pay), peneliti di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Di MARDI, Malaysia, misalnya, pendapatan bersih peneliti setidaknya sekitar Rp25 juta per bulan, dan di PhilRice, Filipina, sebesar Rp20 juta. Perbandingan kondisi penelitian dan peneliti dari negara lain lebih dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dilihat dari kontribusinya terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat suatu negara sudah selayaknya para peneliti dan perekayasa mendapat perhatian yang lebih memadai.

Gaji dan tunjangan peneliti dan perekayasa saat ini masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan hidup yang standar, bahkan untuk golongan tertentu dirasakan belum dapat mengimbangi inflasi setiap tahunnya.

Saat ini terdapat sekitar 7.000 orang peneliti dan perekayasa yang berada di bawah naungan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Departemen (LPD) dan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND). Sebanyak 1.100 orang di antaranya bernaung di bawah LIPI, 1.600 orang di Departemen Pertanian, 350 orang di Departemen Kesehatan, dan sisanya tersebar di departemen lainnya. Hal ini menunjukkan tingginya potensi peneliti dan perekayasa di samping 150.000 dosen yang ada di perguruan tinggi di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Potensi ini harus diberdayakan untuk menjawab tantangan kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menunjang pembangunan masa depan melalui kegiatan penelitian yang berkesinambungan.

Tenaga peneliti dan perekayasa merupakan SDM iptek yang sangat dominan peranannya di dalam upaya menyediakan berbagai solusi untuk mencapai kondisi kehidupan masyarakat yang lebih layak melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi serta penyediaan tenaga-tenaga terlatih. Pada prinsipnya, kelompok fungsional ini memiliki keunggulan posisi atau kekuatan dalam bertindak secara efektif (leverage) yang relatif sama dengan kelompok struktural. Dengan demikian, mereka berhak memperoleh tunjangan secara proporsional sesuai dengan beban tanggung jawab yang dipikulnya. Hasil studi menunjukkan bahwa penelitian dan pengembangan iptek memiliki korelasi linear positif dengan kemajuan suatu bangsa (phisycal review, 1999).

Konsultan Kelly Service, baru-baru ini sudah memublikasikan hasil penelitiannya mengenai standar gaji di Indonesia tahun 2006 untuk sektor banking and finance call center, engineering and technical, human resources, information technology, logistic and warehousing, office support, sales, marketing and advertising. Dari besaran-besaran standar gaji dari Kelly Service tampak bahwa gaji peneliti dan perekayasa relatif kecil dibandingkan dengan standar yang sudah dikeluarkan oleh konsultan tersebut. Diduga hal ini akan menjadi informasi atau salah satu penyebab bagi generasi muda kurang berminat menjadi peneliti dan perekayasa.

Oleh karena itu, pentingnya pemberian peningkatan tunjangan jabatan fungsional peneliti dan perekayasa yang layak, didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut. Pertama, peneliti dan perekayasa adalah ujung tombak dalam peradaban sains dan teknologi suatu bangsa, keberhasilan mereka menghasilkan karya-karya yang akan menjadi cerminan kemajuan peradaban bangsa yang bersangkutan. Kedua, hasil karya peneliti dan perekayasa diharapkan menjadi benih unggul untuk menghasilkan produk teknologi yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Ketiga, peneliti dan perekayasa selalu berada dalam ranah dan tataran akademis dan selalu mencari kebenaran. Lingkungan yang ditumbuhkan dapat mendorong komponen bangsa lain untuk juga memberi penghargaan terhadap pencarian kebenaran dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Keempat, secara umum para peneliti dan perekayasa adalah kelompok elite masyarakat dalam segi pendidikan dan intelektualitas. Mereka umumnya berpendidikan doktor (S-3) serta magister (S-2) dan sarjana (S-1) yang hanya dicapai oleh kurang dari 5% penduduk Indonesia. Penghargaan terhadap keilmuwan mereka akan mendorong masyarakat untuk menghargai intelektualitas dan pendidikan. Kelima, tunjangan jabatan yang layak akan mendorong peneliti dan perekayasa untuk mencurahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya pada peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa membagi sumber daya dan potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh tambahan dari kegiatan lainnya.

Solusi
Karena itu, alternatif upaya untuk meningkatkan kesejahteraan peneliti dapat dilakukan dengan cara: (a) meningkatkan tunjangan fungsional peneliti sehingga semua peneliti secara proporsional sesuai dengan jenjang jabatan fungsionalnya akan menerima tambahan pendapatan yang bersifat tetap per bulannya; (b) memberi peluang bagi setiap peneliti untuk melaksanakan kegiatan riset, di mana dalam melaksanakan riset tersebut, peneliti diperkenankan untuk mendapat honorarium sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya serta total waktu yang dicurahkan dalam kegiatan riset tersebut; (c) memberikan penghargaan finansial kepada peneliti yang telah memberikan kontribusi nyata berupa hasil riset yang dimanfaatkan publik, dunia usaha, dan/atau pemerintah.

Penghargaan kepada peneliti dan perekayasa diharapkan dapat memotivasi peneliti dan perekayasa untuk meningkatkan kualitas dan relevansi risetnya. Penghargaan ini akan menjadi penyeimbang antara upaya peningkatan kesejahteraan peneliti/perekayasa dan upaya menjaga agar riset yang dilakukan juga memberikan kemanfaatan nyata bagi publik, bisnis, dan/atau pemerintah. Peneliti dan perekayasa yang ideal tentunya adalah peneliti dan perekayasa yang sejahtera dan berprestasi.

Oleh Anny Sulaswatty Biro Hukum KNRT dan Wyka Ari Cahyanti Humas KNRT

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Rumitnya Meneliti Kehidupan Peneliti
06 Apr 2010

Di luar negeri, profesi peneliti sangat dihargai. Bukan hanya dari segi pengakuan karya, namun juga dari sisi pendapatan, untuk yang senior, pendapatannya bisa mencapai 60 juta rupiah per bulan. Lalu, bagaimana dengan peneliti indonesia? Meski hasil kerja mereka berpengaruh pada kehidupan orang banyak, kehidupan para peneliti dan perekayasa di negeri ini jauh dari kesan glamor. Sebagian besar waktu peneliti bahkan tersita di laboratorium yang sesak dengan berbagai macam alat ukur. Terkadang, mereka menyepi di perpustakaan untuk memperkaya isi otak dengan berbagai ilmu pengetahuan. Mereka juga sering duduk berlama-lama di depan komputer. Entah itu untuk menulis laporan ilmiah secara sistematis sesuai kaidah dan metode ilmiah atau memantau perkembangan bidang ilmu yang sedang digelutinya lewat situs-situs ilmiah di jagat maya. Selain itu, mereka kerap memanfaatkan Internet untuk berkorespondensi dan berbagi data dengan kolega di dalam maupun luar negeri. Sela-sela kesibukannya membuktikan kebenaran dan ketidak-kebenaran asumsi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mereka manfaatkan untuk berdiskusi dengan kolega atau datang ke sebuah seminar. Mereka juga memanfaatkan waktu luang untuk mentransfer ilmu kepada mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi.

Meski tak dianugerahi banyak uang, jalan hidup ini mereka jalani dengan senang hati tidak ada paksaan dalam melakuKan kegiatan ilmiah. Sebab, kebanyakan dari mereka memang mendedikasikan hidup demi kemajuan Iptek dalam negeri ini. Tak ayal kalau secara jamak mereka memiliki prinsip hidup sebagai individu yang dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Berdasarkan data yang dihimpun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai Maret 2009, jumlah peneliti dan perekayasa di Indonesia ada 7.673 orang dari 36 instansi pemerintah pusat dan daerah. Salah satu orang yang memilih jalur peneliti tersebut ialah.Suharsono. Peneliti oseanografi LIPI itu merasa nyaman menjadi ilmuwan lantaran memiliki kebebasan melakukan pekerjaan yang memang sudah menjadi hobi. Dia dapat mengekspresikan ide-ide di otaknya secara bebas menjadi karya ilmiah. “ladi apa yang saya kerjakan bukan karena terpaksa, apalagi dipaksa,” kata pria yang menyandang gelar dalam bidang ekologi terumbu karang di Department of Biology, University Newcastle upon Tyne, Inggris.

Lantaran berjibaku di dunia oseanografi. Suharsono juga sangat menikmati ketika melakukan ekspedisi mengarungi lautan Indonesia maupun dunia selama menjalani kegiatan riset ilmiah. Dia dapat menikmati panorama keindahan alam, baik di atas maupun di dalam permukaan laut.

Selama ekspedisi, penulis buku Jenis-jenis Karang di Indonesia ini tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun dari kantong pribadinya. Sebab sebagian besar program ekspedisinya dibiayai pemerintah atau lembaga riset luar negeri. “Malahan saya sering kali dapat uang saku,” cetus Suharsono. Dari ekspedisi itu pula ia dapat mengenal banyak peneliti lain sehingga jaringan kerja kian luas. Ujung-ujungnya, ketika banyak orang telah mengenal dan mengetahui kapasitas keilmuannya, undangan menjadi pembicara seminar tak akan sepi. Tawaran untuk mengajar di sejumlah perguruan tinggi datang dengan sendirinya. “Bermacam tawaran menyangkut pengembangan ilmu pengetahuan dapat kita terima karena menjadi peneliti memiliki waktu yang relatif fleksibel,” kata Suharsono. Pasalnya, kewajiban sebagai peneliti untuk membuat laporan ilmiah dapat dilakukan di mana saja, kapan saja.

Pratondo Busono, perekayasa alat-alat kesehatan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sependapat dengan Suharsono. Setiap Sabtu dan Minggu, ia biasa memanfaatkan waktu untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi. “Hitung-hitung sebagai tambahan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari sebagai kepala keluarga,” ujar Kepala Bidang Instrumentasi Kedokteran BPPT ini.

Kesejahteraan Para peneliti maupun perekayasa yang merangkap sebagai dosen di suatu perguruan tinggi memang masing-masing memiliki alasan tersendiri. Ada yang memang sengaja untuk menularkan ilmu mereka, namun ada pula yang sengaja merangkap menjadi dosen agar bisa hidup lebih layak. Sebab sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, bahwa kesejahteraan sebagai peneliti dan perekayasa masih sangat minim bila dibandingkan dengan luar negeri. Anggaran kegiatan penelitian dan rekayasa di negera ini masih 0,04 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal idealnya, anggaran tersebut minimal 1 persen dari PDB. “Jadi jangan heran sekitar 20 persen perekayasa di BPPT memiliki pekerjaan sampingan,” cetus (umain Appe, Sekretaris Utama BPPT. Contoh gaji dan tunjangan fungsional para perekayasa tingkat pertama di BPPT yang dapat mereka bawa pulang ke rumah sekitar 4 juta rupiah. Ketika perekayasa tingkat pertama naik ke tingkat lebih tinggi (tingkat muda, madya, dan utama), gaji dan tunjangan bertambah 600 ribu rupiah.

Soal kesejahteraan peneliti, mari kita tengok gaji dan tunjangan fungsional Sunarsono. Sebagai penyandang gelar profesor riset dari LIPI, Peneliti Utama IVe, berpendidikan S3, dan telah mengumpulkan angka kredit lebih dari 1.050 poin ini hanya memiliki gaji sekitar 3,5 juta rupiah dan tunjangan fungsional 1,4 juta rupiah. Padahal ia telah mendedikasikan dirinya lebih dari 30 tahun untuk mengembangkan ilmu oseanografi. Lalu, bagaimana kesejahteraan para peneliti yang memiliki kaliber seperti Suharsono di Malaysia dan Singapura? “Peneliti senior di Malaysia dalam setiap bulan mendapatkan gaji sekaligus tunjangan 20 juta hingga 30 juta rupiah. Sedangkan, peneliti senior yang sama-sama meneliti terumbu karang di Singapura setiap bulan mendapatkan gaji serta tunjangan dengan total 60 juta rupiah,” cetus Suharsono.

Harus diakui pula, peran pemerintah untuk mengembangkan dua jalur profesi masih sangat minim. Selama ini, para peneliti dan perekayasa dituntut dapat memberikan kontribusi kepada negara dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana penunjang penelitian. Bersyukur, kebanyakan para peneliti dan perekayasa Indonesia memiliki prinsip kerja

“tak ada rotan akar pun jadi” Pratondo, misalnya, meskipun merasakan ketimpangan fasilitas laboratorium rekayasa alat-alat kedokteran antara yang dimiliki BPPT dan tempat dia pernah mengenyam pendidikan doktor di Universitas McMaster, Kanada, ia masih bisa berkarya. Dia pernah mengembangkan prototipe biosensor multideteksi yang bisa mengetahui secara bersamaan kandungan kadar gula, asam urat, dan kolesterol dalam tubuh dengan satu kali tes. Selain itu, dia pernah mengembangkan ultrasonografi (USG) berbasis personal computer yang diklaim pertama di Indonesia.

Baik Pratondo maupun Suharsono tetap produktif menghasilkan karya lantaran mereka gigih dan rajin mengirimkan proposal proyek ilmiah di luar lembaga riset mereka bekerja selama ini. Misalnya, mengirimkan proposal penelitian di Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Kementerian Pendidikan Nasional, pihak industri, dan lembaga riset luar negeri.

Proposal proyek ilmiah yang mereka ajukan tidak lain bertujuan untuk tambal sulam dana. Sedangkan, untuk mengatasi permasalahan minimnya fasilitas penelitian, mereka biasa menggandeng peneliti atau perekayasa dari luar negeri. Dengan demikian, mereka bisa menumpang menggunakan laboratorium dengan peralatan yang canggih.
awm/L-4