Sebelum Prahara

Senin, 18 Oktober 2010 | 03:20 WIB
Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
Mengharukan, membanggakan, menggembirakan, dan memberi inspirasi bagi dunia!” Untaian kata-kata itu amat tepat untuk menggambarkan drama penyelamatan 33 petambang Cile pada Rabu, 13 Oktober 2010, yang terjebak di dalam tanah sedalam 622 meter selama 69 hari.
Drama penyelamatan selama 22 jam itu ditunggu langsung oleh Presiden Cile Sebastian Pinera, yang berpakaian bak orang kebanyakan. Tanpa protokoler dan penjagaan yang ketat, Presiden Pinera langsung memeluk para petambang yang berhasil ditarik ke atas. Air mata haru pun tanpa terasa menetes dari pelupuk mata siapa pun yang menonton drama penyelamatan itu.
Suasana begitu kontras tergambar dari tayangan televisi nasional saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi para korban banjir bandang di Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, pada Kamis, 14 Oktober 2010, 11 hari setelah bencana berlangsung. Di situ tergambar Presiden Yudhoyono hadir naik mobil Mercedes Benz antipeluru yang supermewah, memakai baju safari dibalut rompi berwarna krem, dengan protokoler dan penjagaan yang ketat, seolah ia berada di daerah perang.
Jika Presiden Cile rela begadang tiga hari tiga malam menunggui penyelamatan para petambang, Presiden Yudhoyono hanya berkunjung selama tiga jam di Wasior! Presiden dan para orang dekatnya juga seakan meremehkan bencana Wasior dengan menyalahkan ”hujan” sebagai penyebab bencana dan bukan pembalakan liar, dan mengecilkan jumlah korban dibandingkan dengan bencana tsunami di Aceh, 24 Desember 2004. Tanpa sadar, para petinggi negara ini telah melakukan diskriminasi rasial!
Saat yang sama, sebagian politisi di parlemen sibuk dengan perjalanan dinas ke luar negeri, bersilat lidah soal pencalonan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, disambung dengan pencalonan Kepala Polri Komisaris Jenderal Timur Pradopo.
Lebih menyedihkan lagi, ada politisi Golkar yang menyatakan bahwa Partai Golkar merasa ”tidak bahagia” di Sekretariat Gabungan yang ujung-ujungnya ingin agar Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet dan Partai Golkar berharap mendapatkan kursi tambahan di kabinet.
Setahun kinerja
Apa yang digambarkan di atas hanyalah cuplikan kecil setahun kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dan bagaimana pula tingkah laku para politisi kita di parlemen. Presiden sibuk meningkatkan citra politiknya dengan berbagai cara, termasuk merekam dan menyebarluaskan lagu-lagu ciptaannya. Politisi ribut soal perebutan kursi di kabinet, pimpinan DPR RI dan Komisi III DPR RI berebut dekat dengan calon Kapolri.
Kekuasaan seakan tak ada kaitannya dengan nasib rakyat, kesejahteraan rakyat, dan rasa aman masyarakat. Penyelenggaraan negara juga berjalan apa adanya, seolah tidak ada persoalan kritis yang perlu ditangani.
Dalam satu tahun ini kita mencatat betapa konflik komunal kembali melanda negeri kita, seperti yang terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur, ataupun pertarungan antarpreman dari dua kelompok etnik yang berbeda, seperti yang terjadi di Jakarta terkait dengan kasus Blowfish. Dari peristiwa dan jumlah korban, dua peristiwa itu seakan peristiwa kecil yang tidak bisa dibandingkan dengan konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara antara tahun 1999 dan tahun 2005.
Namun, seperti diungkapkan aktivis Elsham, Amiruddin Al-Rahab, dalam diskusi internal di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), awal Oktober 2010, bukan mustahil prahara akan datang jika kita tidak menangani berbagai persoalan sosial ekonomi secara arif. Apa yang terjadi di daerah yang pernah dilanda konflik komunal itu adalah betapa penduduk asli merasa termarjinalkan baik dari sisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Kesenjangan pembangunan ekonomi juga diakibatkan Jawa tetap menjadi pusat dari pembangunan fisik, prasarana dan sarana, serta pusat dari peredaran uang nasional. Pusat-pusat dinamika ekonomi di daerah masih didominasi oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam tetapi miskin dari sumber daya manusia. Tak heran jika para pendatang bergerak melakukan migrasi dari daerah asal mereka ke wilayah yang membutuhkan keahlian mereka. Arus migrasi dari wilayah barat Indonesia ke wilayah timur Indonesia telah berlangsung sejak era kolonial Belanda, tetapi semakin deras arusnya sejak era Orde Baru.
Dominasi para pendatang yang dari segi jumlah melebihi jumlah penduduk asli, penguasaan para pendatang atas sumber daya alam dan sumber-sumber ekonomi lainnya, penguasaan posisi di bidang pendidikan dan politik, menyebabkan beberapa wilayah di Indonesia timur menjadi amat rawan.
Sejalan dengan itu, harus dapat dimaklumi mengapa saudara-saudara kita di Papua menuntut agar posisi jabatan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah harus diduduki oleh putra asli daerah. Dalam bayangan mereka, jika migrasi ke tanah Papua semakin cepat, penduduk asli akan menjadi minoritas di wilayahnya sendiri. Demokrasi yang mengandalkan dukungan suara langsung dari pemilih tentunya akan didominasi oleh politisi yang memiliki konstituen yang berasal dari kaum pendatang itu. Bukan mustahil politisi luar Papua akan mendominasi politik Papua. Dominasi pendatang di bidang ekonomi, sosial budaya, dan politik juga akan semakin merajalela. Jika kita tidak menangani hal ini secara dini, bukan mustahil prahara akan cepat datang di tanah Papua dan wilayah lain di Indonesia timur.
Prahara di depan mata
Belakangan ini ada sesuatu yang aneh. Petinggi negara di Jakarta justru sibuk melayani orang-orang yang berteriak seolah mendukung NKRI, dan bukan kepada mereka yang berteriak mau merdeka. Padahal, biaya ekonomi untuk menyenangkan ”pendukung NKRI” jauh lebih mahal dibandingkan dengan efek politik positif yang diperoleh negara.
Hal aneh lainnya, Presiden Yudhoyono sendiri yang membesarkan Republik Maluku Selatan (RMS) dengan menunda kunjungan resmi ke negeri Belanda, 5 Oktober 2010, sebagai akibat tuntutan pimpinan RMS ke pengadilan cepat negeri itu agar Presiden Yudhoyono ditangkap karena melanggar hak asasi manusia di Maluku. Padahal, sebagian besar masyarakat Maluku di negeri Belanda dan juga di Indonesia sudah tidak lagi melihat pentingnya RMS.
Kita juga bertanya, seriuskah negara dalam menangani persoalan terorisme? Mengapa isu itu selalu muncul di saat ada isu politik lain timbul di Indonesia. Jika kita benar-benar serius membasmi terorisme, mengapa hal itu tidak dilakukan sampai ke akar-akarnya, misalnya dengan memutus tali dukungan atau sumber daya manusia yang akan direkrut oleh para teroris? Kapan kita memiliki prosedur tetap yang jelas soal penanganan terorisme? Apa saja yang harus dilakukan para aparat intelijen pusat dan daerah, TNI dan Polri, serta masyarakat pada umumnya untuk menangani terorisme? Kenapa pula orang yang ahli soal itu, misalnya Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono, atau teman- teman dosen di sejumlah perguruan tinggi Indonesia, tak diminta pendapatnya soal itu oleh pemerintah.
Sebelum prahara datang, ada baiknya pemerintah menangani persoalan migrasi penduduk, kesenjangan sosial ekonomi, penguatan institusi negara dan juga koordinasi yang serius antarlembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Prahara itu sudah di depan mata, bukan satu atau dua dekade lagi.
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/18/03203385/sebelum.prahara