Ancaman Kebangkrutan Moral

Jakarta, Kompas – Kamis (19/5) di Jakarta, dalam Refleksi Hari Kebangkitan Nasional 2011, kalangan tokoh lintas agama menilai, kebangkrutan moral mengancam bangsa Indonesia. Situasi ini tidak boleh dibiarkan dan bangsa ini harus bangkit dari keterpurukan.

Oleh karena itu, lepas dari kepemimpinan yang kian memprihatinkan, kalangan tokoh agama masih mempunyai harapan dan terus mendukung masyarakat untuk meningkatkan solidaritas, melakukan perbaikan riil, dan meningkatkan kecintaan pada Tanah Air Indonesia.

Pernyataan bersama tokoh lintas agama itu dibacakan secara bergantian oleh Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti dan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Imdadun Rahmat.

Refleksi itu dihadiri mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, KH Salahuddin Wahid, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pendeta Andreas A Yewangoe, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Martinus Situmorang OFM Cap, tokoh Hindu Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa, dan tokoh Konghucu Tjhie Tjay Ing.

”Kalau kita tidak bangkit dari keterpurukan, bukan kebangkitan, melainkan kebangkrutan nasional yang akan mengancam kehidupan bangsa Indonesia,” ujar Abdul Mu’ti.

Tokoh agama itu mencatat keberhasilan pemerintah dalam aspek kuantitatif pertumbuhan nasional pula. Namun, sekitar 50 persen warga bangsa ini masih hidup di bawah atau setara dengan 2 dollar Amerika Serikat per orang per hari.

Selain itu, persatuan bangsa, menurut Abdul Mu’ti, sedang dicabik-cabik oleh pelbagai konflik dan kekerasan, intoleransi keagamaan semakin menguat, kelompok garis keras dengan bebas menyebarluaskan paham eksklusif yang membenarkan paksaan dan kekerasan terhadap semua yang tidak mereka sukai. ”Yang paling serius, nilai moral bangsa sudah dibusukkan oleh korupsi yang merasuk dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat. Integritas moral dan komitmen politik kerakyatan terancam politik uang,” ungkapnya.

Situmorang menjelaskan, kebangkrutan yang mengancam kehidupan berbangsa kini misalnya kebangkrutan kualitas moral, solidaritas kebangsaan, dan kebangkrutan penegakan hukum. Keselamatan kehidupan berbangsa tak hanya ditentukan sejumlah pejabat, tetapi juga semua komponen bangsa. Perlu kesadaran bersama pentingnya bertindak untuk meningkatkan kualitas hidup berbangsa.

Salahuddin menegaskan, pernyataan sikap tokoh lintas agama itu tidak dimaksudkan untuk menyerang siapa pun. ”Kita mengajak siapa pun untuk memperjuangkan apa yang diperjuangkan pendiri bangsa ini,” katanya.

Menurut Syafii Maarif, semua komponen bangsa perlu bangkit untuk menghadapi kemungkinan bangsa ini mengalami kebangkrutan. Bangsa Indonesia perlu membuka hati dan peka terhadap berbagai persoalan bangsa.

”Jika hati tak berfungsi, fungsikan hati. Kalau mata tidak berfungsi, fungsikan mata. Kalau telinga tidak berfungsi, fungsikan telinga,” tutur Syafii Maarif.

Tokoh lintas agama juga menyampaikan lima tuntutan terhadap pejabat publik yang memikul tanggung jawab memimpin bangsa. Pertama, menempatkan kebijakan yang diambil dengan sejelas-jelasnya atas dasar UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, menghentikan pembiaran terhadap kekerasan atas nama kelompok garis keras dan oleh massa beringas. Ketiga, mengubah arah perekonomian Indonesia agar rakyat kecil dapat merasakan bahwa mereka bisa maju dan hidup layak.

Keempat, berani memberi prioritas tertinggi pada pengakhiran korupsi dan pembebasan perpolitikan Indonesia dari politik uang. Kelima, menjadi pengawal keadilan untuk seluruh rakyat tanpa diskriminasi apa pun.

Ada optimisme

Dalam dialog Kebangkitan Nasional yang digelar Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (Prodem) di Jakarta, Kamis, terungkap gambaran masa depan Indonesia masih penuh optimisme walau suram dan dibayangi menjadi negara yang gagal, bahkan bubar. Negeri ini masih kaya dengan sumber daya alam melimpah. Tingkat intelegensia warganya pun tak kalah dengan negara maju. Namun, kondisi kontras juga tergambar, seperti terus mengecilnya kepemilikan lahan akibat kebijakan impor pangan dan terjadi deindustrialisasi akibat membanjirnya barang dari China.

Menurut Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Firmanzah, dalam dialog itu, Indonesia sesungguhnya masih punya banyak modal untuk unggul di dunia. ”Malaysia mengapitalisasi intelegensia warga Indonesia. Ada 4.000 doktor asal Indonesia di sana dan mereka wajib membuat jurnal ilmiah internasional. Itu mendongkrak posisi Malaysia dibandingkan dengan Indonesia,” ungkap Firmanzah.

Akan tetapi, tingkat intelegensia yang baik di Indonesia tidak diimbangi dengan mentalitas manusia beradab. Mentalitas kita masih kerumunan,” ujarnya.

Pembicara lain, pengamat kebijakan publik dari UI, Andrinof Chaniago, mengatakan, bangsa Indonesia sampai kini masih terjebak dengan mentalitas broker. Kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pun tak lepas dari mentalitas ini. ”Kita membangun kawasan ekonomi yang tak lebih dari pusat transaksi, bukan pusat industrialisasi. Yang ditumbuhkan bibit menjadi broker, bukan industrialisasi. Lihat saja, Indonesia bisa bikin pesawat bagus CN-235, tetapi malah beli MA-60 dari China,” katanya.

Roh kebangkitan

Secara terpisah, Kamis, sosiolog Imam B Prasodjo dan pemerhati sejarah JJ Rizal mengakui, bangsa Indonesia kehilangan roh kebangkitan nasional, yaitu mimpi besar bersama untuk membangun kemajuan bangsa. Salah satu penyebabnya, elite politik sekarang terjebak dalam pikiran pendek, mementingkan ego pribadi atau kelompok, dan sibuk dengan beragam urusan kecil.

Keduanya melihat, Kebangkitan Nasional tahun 1908 ditumbuhkan oleh elite Indonesia yang tercerahkan dengan visi jauh ke depan. Di tengah jaminan kenyamanan hidup dari kolonial bagi golongan terdidik, mereka berani mengambil risiko, berjuang dengan penuh kesulitan.

Elite bangsa saat itu menempa diri dalam berbagai paham. Namun, masing-masing bisa mengatasi kepentingan pribadi dan kelompok itu demi menyatukan mimpi besar bersama, yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Kini, 103 tahun kemudian, bangsa Indonesia justru terpuruk dalam banyak dimensi. Pencapaian politik, ekonomi, sosial, dan budaya seakan jalan di tempat, bahkan dalam beberapa hal mundur.

Menurut Imam, masalah yang dihadapi bangsa ini kian besar dan kompleks, termasuk terkait dengan dinamika politik-ekonomi global. Namun, di tengah tantangan itu, elite bangsa ini justru bergerak dalam pikiran sempit.

Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla dalam diskusi memaknai Kebangkitan Nasional di UI, Depok, Kamis, pun mengakui, kebangkitan bangsa Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan belum tegaknya etika, moral, dan hukum serta belum terwujudnya kemakmuran dan keadilan. Untuk itu, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat sehingga mampu menggerakkan semua komponen bangsa untuk bersatu mengatasi tantangan dan hambatan bagi masa depan.

Kalla menambahkan, kebangkitan negeri ini tetap harus berlandaskan Pancasila, yang tidak berhenti untuk dihafalkan.

Di Senayan, Jakarta, Ketua Kelompok DPD di MPR Bambang Soeroso dalam seminar terkait peringatan Kebangkitan Nasional juga mengatakan, meski sudah 66 tahun merdeka, bangsa Indonesia belum juga bangkit. Tujuan berbangsa dan bernegara, yakni memajukan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial, belum juga tercapai sampai saat ini.

(nta/fer/eln/bil/iam)

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2011/05/20/02314388/ancaman.kebangkrutan.moral