Peneliti Harus Antre
Penelitian Dimasukkan dalam Pos Pengadaan Barang
Selasa, 01 November 2011
BANDUNG, KOMPAS – Akibat anggaran penelitian yang sangat terbatas, peneliti harus bergilir dan antre mendapatkan dana penelitian. Akibatnya, kegiatan penelitian belum tentu bisa berlanjut setiap tahun.
Demikian salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam Forum Inovasi Daerah II 2011 di Institut Teknologi Bandung, Senin (31/10).
Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Suryo Hapsoro Tri Utomo mengatakan, dana untuk riset cenderung turun dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2009, misalnya, anggaran riset masih Rp 1,2 triliun, tetapi tahun 2010 turun lebih dari separuh menjadi Rp 453 miliar dan tahun 2011 ini turun lagi menjadi Rp 435 miliar. ”Karena anggaran terbatas, beberapa rencana penelitian yang diajukan terpaksa harus antre,” kata Suryo Hapsoro.
Selain anggaran yang terbatas, mekanisme pelaporan keuangan kegiatan penelitian dimasukkan dalam pos pengadaan barang dan jasa. Mekanisme ini sangat merepotkan bagi peneliti karena semua pengeluaran harus bisa dibuktikan dengan kuitansi.
”Bisa jadi, laporan pertanggungjawaban keuangan lebih tebal daripada laporan hasil risetnya sendiri,” kata Suryo.
Perizinan rumit
Selain menyangkut masalah mekanisme dana penelitian, para peneliti juga sering dihadapkan pada persoalan perizinan yang rumit di daerah. ”Keberpihakan pemerintah pusat dan daerah harus ditingkatkan untuk kegiatan penelitian,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar.
Menurut dia, jika dimanfaatkan secara optimal, potensi peneliti Indonesia sangat luar biasa. Indonesia memiliki lebih dari 60.000 peneliti yang tersebar di 114 perguruan tinggi negeri, 301 perguruan tinggi swasta, 8 badan usaha milik negara, 8 badan usaha milik swasta, 76 lembaga penelitian kementerian, 91 lembaga penelitian nonkementerian, serta 24 lembaga penelitian pemerintah daerah.
Secara terpisah, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pratiwi P Sudarmono mengatakan, dunia penelitian Indonesia sejak 25 tahun yang lalu tidak mengalami banyak perubahan. Persoalan yang dihadapi pun masih sama.
”Indonesia memiliki banyak orang pintar, keahlian, dan jejaring dengan ilmuwan dunia. Namun, penelitian sains dan teknologi ternyata belum menjadi prioritas negara,” ujarnya.
Pratiwi mengakui, dana penelitian memang bukan persoalan utama. Namun, tanpa dana yang memadai, peneliti tidak bisa memiliki peralatan yang digunakan untuk meneliti. ”Para peneliti bisa saja mendapat dana bantuan dari asing. Namun, dana itu hanya dapat digunakan untuk operasional penelitian, tidak untuk pembelian peralatan,” ujarnya.
Mesdin Simarmata, Direktur Industri, Iptek, dan BUMN Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan, tahun 1990 sebenarnya sudah ada Riset Unggulan Terpadu.
Dalam sistem itu, tujuan riset sudah ditetapkan dengan jelas dan para peneliti diminta berkompetisi mengajukan proposal sesuai bidangnya. Proposal yang lolos mendapat kucuran dana.
”Penelitian menjadi lebih fokus. Tidak seperti sekarang,” katanya. (ELD/MZW/ISW)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/11/01/02264060/peneliti.harus.antre