Menata Jurnal Kelulusan
Irwandi Jaswir
Profesor Bidang Bioteknologi dan Deputy Dean, Research Management Centre, International Islamic University Malaysia

16 Februari 2012
Ada yang sedikit terlihat lucu ketika membaca SK Dikti Surat Dirjen Dikti No 152/E/T/2012 tentang Kewajiban Publikasi dalam Jurnal Ilmiah untuk setiap lulusan perguruan tinggi di Tanah Air, mulai dari jenjang strata satu hingga strata tiga. Alasan yang dikemukakan Dikti untuk melaksanakan kebijakan tersebut dengan menyebut jumlah karya ilmiah perguruan tinggi Indonesia secara keseluruhan masih sepertujuh Malaysia, rasanya tidak patut disebut meskipun betul adanya.

Alasan yang dikemukakan seharusnya cukup untuk memajukan produktivitas karya ilmiah Indonesia secara menyeluruh, tanpa mengacu pada sebuah negara. Menurut hemat penulis, keputusan Dikti untuk mewajibkan lulusan perguruan tinggi (PT) menghasilkan karya ilmiah berbentuk jurnal, wajib diberi apresiasi.

Bukankah itu salah satu cara untuk menuju ke arah kemajuan?
Sistim terpadu Dikti mungkin memiliki pertimbangan khusus dengan mengambil Malaysia sebagai kayu pengukur dalam SK-nya. Selain sebagai negara terdekat, harus diakui, Malaysia memiliki sistem budaya penulisan yang lebih terstruktur dan sangat jelas.

Data jurnal Nature beberapa waktu lalu menyebut, karya ilmiah saintis Indonesia dalam jurnal internasional adalah 0,88 artikel per satu juta penduduk sedangkan Malaysia sebanyak 20,78. Indonesia berada pada posisi 134 dunia sedang Malaysia pada posisi 67.

Pengalaman lebih dari 15 tahun menjadi saintis di Malaysia cukup memberi pengajaran kalau kewajiban menulis karya ilmiah pada hakikatnya bukanlah barang baru di negara jiran tersebut. Seperti juga pada sektor-sektor lainnya, setiap aturan di Malaysia sangat jelas adanya dan berjalan dalam sebuah sistem terpadu.

Di Malaysia, kewajiban menulis ilmiah baru diberlakukan untuk jenjang S2 ke atas. Jenjang S1 ti dak ada kewajiban menulis jurnal sama sekali, cukup buat mereka untuk menghasilkan skripsi dan mempertahankannya dalam sebuah ujian sidang.

Untuk jenjang S2 dan S3, syaratnya harus mempublikasikan karya tulis dalam jurnal internasional. Pada kebanyakan universitas, untuk S2 minimal satu publikasi dan S3 sebanyak dua publikasi. Bahkan, syarat tersebut pun kini semakin sulit dengan beberapa universitas turut me ngaitkan kualitas jurnal internasional tempat publikasi karya me reka. Beberapa universitas bahkan mensyaratkan mahasiswanya mempublikasikan karya tulis mereka hanya dalam jurnal-jurnal yang memiliki impact factor tertentu dan atau terdaftar dalam pangkalan data Scopus.

Hampir semua saintis di Malaysia sangat jarang mengirimkan karya ilmiahnya dalam publikasi jurnal-jurnal lokal. Poin yang di berikan buat mereka yang mempublikasi dalam jurnal lokal sangat kecil. Sehingga, cenderung memaksa saintis Malaysia berkarya di jurnal internasional.

Bagi seorang saintins asing yang berkiprah di Malaysia pula, rata-rata mereka dibebani tanggung jawab mempublikasikan tiga jurnal internasional per tahun sebelum kontraknya diperpanjang di Malaysia. Di beberapa universitas bahkan disyaratkan minimal kumulasi impact factor sampai lima jurnal per tahun.

Seseorang yang ingin promosi ke jenjang profesor, mempublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal internasional adalah sangat menentukan. Jumlahnya bisa jadi di atas 50 artikel. Beberapa dosen Indonesia bahkan ada yang mempublikasi karya ilmiahnya dalam jurnal internsional sampai 70 artikel, sebelum pede mengajukan diri promosi ke jenjang profesor.

Seperti diketahui, sistem promosi kepangkatan staf perguruan tinggi di Malaysia sangat ketat. Pada tahap akhir, daftar publikasi ilmiah mereka akan dikirim kepada lima orang profesor terkenal di bidang masing-masing di luar Malaysia sebagai external assessor (EA). Dan, para EA ini harus memberikan rekomendasi positif.

Namun, seperti telah disebut kan di atas, sistem terpadu dan aturan yang jelas sangat terasa di Malaysia. Sistem terpadu, dalam artian para saintis, juga diberi fasilitas yang lengkap untuk penelitian. Adalah sangat mustahil mengharapkan sebuah karya ilmiah dimuat di jurnal bergengsi internasional tanpa riset yang betul-betul unggul. Inilah yang harus diperhatikan pemerintah kita dalam mengimplementasi kewajiban karya ilmiah di jurnal ini.

Adakah semua perguruan tinggi sudah diberi fasilitas memadai untuk melakukan penelitian? Seperti dimaklumi, di Malaysia, dana penelitian tidaklah terlalu sulit didapat. Setiap dosen dijamin mendapatkan dua proyek riset di kampus pada satu waktu. Belum lagi berbagai dana penelitian yang disediakan beberapa kementerian, seperti Kementerian Pengajian Tinggi (KPT) dan Kementrian Riset serta pihak swasta. Beberapa peneliti bahkan dengan mudah mendapatkan dana penelitian.

Begitu proyek didapat, mahasiswa pascasarjana yang biasanya berasal dari mancanegara juga sudah tersedia. Rata-rata, para mahasiswa ini memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Inggris dengan baik.

Mahasiswa-mahasiswa pascasarjana inilah yang selalu menjadi andalan untuk publikasi buat sang dosen. Situasinya bisa disebut win-win solusion. Sang mahasiswa mendapat uang saku dan uang kuliah dari penelitian yang dijalankan serta publikasi sebagai syarat lulus. Dan, sang dosen mendapat publikasi untuk kepangkat an dan syarat administrasi lainnya.

Bayangkan, jika seorang dosen memiliki lima mahasiswa pascasarjana dan setiap tahun masing-masing dari mereka menulis satu paper ilmiah. Di luar itu, setiap publikasi dalam jurnal internasional juga mendapat insentif keuangan, sekitar Rp 5 juta per artikel.

Sistem MyRA

Dalam beberapa tahun terakhir, KPT, Kementrian yang menaungi perguruan tinggi di Malaysia, juga memiliki acuan apa yang disebut sebagai MyRA. MyRA merupakan sebuah pangkalan data yang digunakan KPT untuk mendokumentasikan semua aktivitas perguruan tinggi, termasuk dalam hal riset dan publikasi.

Data MyRA yang selalu di-update juga digunakan untuk memberi peringkat sebuah universitas sebelum diberikan status universitas riset (research university/RU).

Tercatat saat ini, sudah ada lima universitas di Malaysia berstatus RU dengan salah satu di antaranya, Universiti Sains Malaysia yang menjadi pemuncak dan disebut juga Apex University.

Perlu diketahui, pada awalnya, setiap universitas dengan status RU mendapat dana penelitian tetap sebesar 120 juta ringgit (Rp 340 miliar) setahun. Kini, dana tersebut turun separuhnya, namun tetap terasa sangat besar untuk mendongkrak kegiatan riset dan publikasi di universitas. Dana tetap RU akan dikelola langsung oleh universitas, namun di luar itu, para saintis universitas-universitas tersebut masih berpeluang merebut berbagai dana penelitian dari kementerian.

Untuk menjadi RU, syaratnya sangat tidak mudah. Misalnya, jumlah publikasi dalam jurnal internasional per tahun harus dua kali lipat jumlah dosennya, dengan total impact factor minimal 500 dan jumlah sitasi (citation) minimal 10 ribu. Jumlah dana penelitian untuk para saintis di bidang sains dan teknologi mesti 50 ribu ringgit per tahun per dosen.

Setiap kampus di Malaysia berlomba-lomba untuk mendapatkan status RU karena adanya dukungan keuangan yang kukuh dari pemerintah. Bagi universitas berstatus RU, dana tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas karya ilmiah yang secara tidak langsung akan mengangkat peringkat universitas tadi pada peringkat internasional.

Powered by Pressmart Media Ltd

Sumber : http://republika.pressmart.com/publications/RP/RP/2012/02/16/articlehtmls/Menata-Jurnal-Kelulusan-16022012004023.shtml