Pak Dxxx, diskusi ini sangat bernilai untuk dibaca oleh pejabat Dikti yang berwenang, Kopertis/PTN pemilik dosen dan para dosen yang mengalami nasib seperti bapak, ijinkan saya share ke GDI dan milis-milis pendidikan. Terima kasih sebelumnya.
>>>
Assalamualaikum wr. wb.
Bu Fitri, perkenalkan nama saya Dxx, dosen tetap (PNS) di UIN Bandung. Saya mengajukan lamaran S3 Kimia di ITB gelombang 2 2012 lalu. Walaupun belum diumumkan kelulusan diterimanya saya yakin lolos berdasarkan persyaratan-persyaratan administratif yang telah ditentukan, terutama TOEFL dan TPA. Saya berani mengajukan lamaran tersebut bukan tanpa beasiswa. Mengingat kecenderungan pengumuman beasiswa dari kemenag tidak tetap waktunya, saya tidak berani daftar di gelombang 1, namun setelah waktu pendaftaran sudah habis belum ada juga kepastian adanya beasiswa tersebut. Pada akhirnya 2 hari yang lalu saya mendapatkan informasi tidak resmi namun dapat dipercaya bahwa beasiswa dari kemenag untuk studi S2 S3 dalam negeri bagi tenaga kependidikan di lingkungan PTAI tidak ada untuk tahun ini (dengan alasan penyebab-penyebabnya yang menurut saya kurang dapat diterima), benar-benar sangat kecewa saya.
Di lain pihak saya juga mengetahui bahwa BPPS dapat dikatakan “tidak berlaku” bagi dosen-dosen dari PTAI. Sebagai dosen non-agama (sains) namun bertugas mengabdi kepada negara seolah-olah saya berada di persimpangan. Saya lulusan jurusan kimia di luar PTAI (S1 Unpad dan S2 ITB) yang sekarang saya amalkan di PTAI yang masih minim SDM dosen sainsnya. Kecil sekali pilihan saya untuk melanjutkan studi dengan beasiswa di dalam negeri, ke luar negeri nampaknya tidak mungkin karena masalah keluarga yang tidak dapat ditinggalkan (mertua sudah meninggal, anak-anak masih kecil, jauh dari saudara-saudara juga), itupun beasiswa ke luar negeri banyak peluangnya hanya di kemendiknas, tapi jarang juga yang memberi peluang dapat membawa keluarga.
Tanggal 10 Juni 2012 saya dapatkan informasi adanya BPPS gelombang kedua. Saya hanya menghabiskan rasa kepenasaran saya tentang BPPS yang tidak dapat “ditembus” lembaga-lembaga pendidikan di luar kemendiknas. Saya memiliki pendapat bahwa:
1. Saya juga anak bangsa yang memiliki dedikasi dalam dunia pendidikan di Indonesia dan tentunya memiliki hak seluas-luasnya mendapatkan sokongan dana (beasiswa) dari pemerintah (melalui APBN), karena baik BPPS maupun beasiswa kemenag sama-sama satu sumber (APBN).
2. PTAI maupun sekolah menengah dan dasar di lingkungan kemenag tetap merupakan bagian tidak terpisahkan dari kemendiknas dalam banyak hal.
3. Tidak adanya beasiswa kemenag tahun ini seharusnya dapat disikapi dengan bijaksana oleh pemerintah (secara umum), terutama yang mengawasi dan mengurus masalah pendidikan. Dengan kata lain, menurut saya harus ada kompensasi. Dan, menurut saya berhubung dengan permasalahan ini pihak manajemen BPPS diharapkan mengerti dan dapat menindaklanjuti.
4. Saya seorang PNS, dosen tetap di perguruan tinggi (yang bernama “UIN”) yang diselenggarakan oleh pemerintah (melalui kemenag), tentunya sangat tidak logis bila saya tidak dipertimbangkan menerima BPPS, berdasarkan salah satu poin rincian penerima BPPS yakni “Dosen tetap pegawai negeri sipil pada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah”, apalagi bila melihat tahun ini beasiswa kemenag tidak ada.
5. Tidak adanya “MoU” yang sering menjadi ganjalan, mohon tidak dijadikan penyebab tidak dapat diterimanya saya (kecuali memang alasan kemampuan akademis dan administratif seleksi di PPs yang dituju). Dalam pendaftaran online BPPS saya dapat memasukkan nama karena ada NIDN (lalu apa artinya NIDN yang dikeluarkan dikti?), lalu ketika memasukkan nama PT asal keluar juga nama UIN Bandung (lalu apa artinya nama UIN SGD Bandung yang masuk database BPPS online?). Kata “PENSTATUSAN” juga akan mengganjal, karena pihak pimpinan di lingkungan PTAI kami tidak mengerti (PASTI!!!), di samping kalaupun harus diurus tidak lagi ada waktu dan akan merupakan perjalanan panjang menyangkut dua kementerian yang berbeda.
Saya sangat berharap BPPS untuk dosen-dosen PNS di lingkungan PTAI untuk tahun ini dipertimbangkan kembali, dan saya yakin para pengambil kebijakan yang berkaitan dengan BPPS amanah dan bijaksana.
Bu Fitri, saya mohon pencerahannya mengenai hal yang saya lakukan. Demikian harapan saya, mohon maaf sebesar-besarnya bila ada perkataan yang tidak berkenan.
Wassalamualakum wr wb
Dxxx
>>>
TANGGAPAN:
Walaikumsalam Wr. Wb. Pak Dxxx yang baik, penstatusan oleh pemilik dosen itu wajib dilakukan oleh Kopertis/PTN yang sudah diberi username dan password, BPPS saat ini tidak diberikan untuk PTAI yang di bawah binaan Kemenag karena Kemenag sudah memiliki anggaran untuk kelola beasiswa di lingkungannya, namun Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati adalah UIN yang sudah di bawah binaan Kemdikbud:
http://evaluasi.dikti.go.id/epsbed/detilpt/201004
Jadi dosen TETAPnya berhak menikmati BPPS, berhubung berstatus negeri penstatusan oleh UIN ybs (arti penstatusan oleh Kopertis/PTN pemilk dosen =memberi tanda ijin atau tak ijin setelah login bpps online).
Yang jadi ganjaran, BPPS hanya diberikan ke dosen TETAP di lingkungan Kemdikbud (termasuk UIN Sunan Gunung Jati), saya baca status ikatan kerja Bapak masih tertulis dosen HONORER di Epsbed http://evaluasi.dikti.go.id/epsbed/datadosen/04xxxxxxxx, dengan status ini permohonan BPPS Bapak tidak akan diproses Diktendik Dikti. Kalo Bapak benar adalah dosen tetap SEGERA usulkan perubahan data dosen melalui operator Epsbed di UIN Sunan Gunung Jati (kebetulan usulan perubahan data dosen dibuka pada Juli-Agustus) melalui menu perubahan dosen tidak tetap menjadi dosen tetap atau menu updating data dosen, adapun Dokumen Pendukung Pengajuan Dosen Tidak Tetap menjadi Dosen Tetap adalah:
– KTP Terbaru
– Ijazah Lengkap (mulai S-1/D-4), Bagi Lulusan PT Luar Negeri disertakan SK Penyetaraannya
– SK sebagai Dosen Tetap
– Surat Pernyataan sesuai dengan SK Dirjen Dikti Nomor : 108/DIKTI/Kep/2001.
( formatnya http://akademik.dikti.go.id/data/2010/formulir/Surat%20Pernyataan%20Dosen%20Tetap.pdf)
Pengusulan perubahan data dosen membutuhkan waktu, mengingat bapak mendaftar di gelombang 2 semoga diproses mereka dan sempat mengikuti penstatusan oleh Kopertis 4 (kalo batas penstatusan untuk gelombang 1 14 Juli 2012, untuk gel 2 belum diumumkan http://beasiswa.dikti.go.id/bpps/index.php/read/pendaftaran-bpps-gelombang-2-tahun-2012) Syukur UIN bapak di bawah binaan Kopertis 4 yang salah satu Kasubagnya Pak Aam terkenal sangat baik dan jujur, kalo mengalami kendala waktu proses penstatusan bisa hubungi beliau.
Minta ijin diskusi kita ini ditayangkan di laman ini dan forum Group dosen Indonesia dan milis-milis pendidikan karena sangat bernilai untuk dibaca oleh pejabat Dikti yang mengelola beasiswa, kopertis/PTN pemilik dosen, para dosen yang mengalami kasus seperti Bapak.
Terima kasih, salam, Fitri
Kuota BPPS terbatas, jadi tidak mungkin semua yang mengajukan dapat.
Kalau bapak DXX ini dari PT dibawah kemenag mungkin lebih baik mengajukan usulan untuk BPPSnya melalui Kemenag juga. atau jika PT nya dibawah KEMDIKBUD baru ke KEMDIKBUD, tidak bisa dicampur aduk karena kasihan dosen yang lain yang antri pengen dapat BPPS juga. Menurut saya aturan DIKTI sekarang sudah bagus, transparan dan objektif.
Pak Tatan Sumarna mohon baca dan cermati tanggapanku ke Pak Dxxx, PT nya 100% di bawah binaan Kemdikbud, di tanggapan saya ke Pak Dxxx sudah ada jelaskan.
Terima kasih, salam, Fitri.
Belum jodonya dapat BPPS, saingannya banyak dan kuota terbatas. kalau memang dibawah kemdikbud PT nya ya sabar aja.
posting ini sangat janggal sekali kenapa dosen namanya DXX tapi author tau dosen itu bukan dosen tetap tapi masih status honor. ini posting benar apa tidak. mohon di perjelas namanya.
Tidak janggal bu Lia, emailnya lengkap cantumkan nama dan PT tempat beliau bertugas. Sengaja saya tutup namanya karena tidak etis saya sebar luaskan nama orang. Saya hanya ingin share kasusnya. Nama lengkap dan PT tempat beliau bertugas cukuplah kami dan kopertisnya yang tahu, dari NIDNnya bisa nampak status ikatan kerjanya dosen honorer maka saya pesan beliau cepat urus. kopertisnya kopertis IV, stafnya kenal baik dengan saya. Buat apa saya buka namanya hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu ibu, mohon belajar hargai orang lain.
Selaku salah satu pengelola web Dikti/Kopertis (bukan hanya sebagai author dan pemandu para dosen) sangatlah menyakitkan ibu sampai hati menuduh saya seperti ini, tahukah bu, saya selalu tak makan siang karena waktu jam pause saya pergunakan untuk mencari informasi terupdate dan akurat buat isi web ini (tentu saya harus luangkan waktu baca mana yang bermanfaat dan layak di tempatkan di web ini dan sebarkan ke milis-milis pendidikan). Tahukah bu saya hanya kebagian tidur 3 jam per hari karena selain kelola web ini saya juga harus menhidupi keluargaku dengan bekerja di beberapa perusahaan. Tahukah Ibu selain waktu dan kesehatan yang saya pertaruhkan (saya tak muda lagi), dana juga saya keluar untuk bayar speedy dan telkomsel flash sekitar Rp 880.000 perbulan untuk search berbagai informasi dan materi yang bermanfaat dengan mengunjungi raturan website pemerintah, media, perguruan tinggi dll tiap ada freetime. Sebanyak 4 laptop disediakan hanya untuk keperluan melayani pendidikan tinggi. Tahukah ibu setiap bawa suami atau Mama berobat ke Singapore heart Centre atau hospital lain laptop tetap kujinjing agar di waktu menunggu dokter saya bisa manfaatkan waktu isi web ini, tahukah ibu setiap check in hotel saya rela bayar biaya internet ( di hotel Singpore S$ 20 per hari ) agar web ini tak sampai putus informasi. Tahukah Ibu saya harus baca semua produk hukum terus (produk hukum kita banyak sekali, UU, PP, Pepres, Keppres, Kempen, Permen, SK Dirjen, Surat Edaran dll yang tahun 1950an aja masih ada yang hidup, dibaca sampai yang terupdate), semua materi dan panduan/pedoman yang berkaitan dengan beasiswa, KUM, hibah, serdos dll sehingga bisa memandu sekian banyak dosen agar Bapak/Ibu tak sampai buta informasi. Tahukah Ibu bukan hanya di web ini aja, saya juga melayani para pengunjung di milis evaluasi, milis kopertis 4, milis DG dan FB Group Dosen Indonesia, kenapa Ibu yang telah menikmati semua sajian di web ini masih TEGA menuduh…
Dan perlu saya jelaskan ini adalah web kopertis/Dikti, kopertis I-XII adalah wakil Dikti yang membina PTS di wilayah masing-masing, semua sajian di sini INSYAALLAH adalah sajian akurat yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Kalo Ibu mau luang sedikit waktu sebenarnya postingan yang ibu anggap janggal ini adalah pertanyaan pengunjung di postingan di bawah ini, di situ Pak Dxxx ada perkenalkan diri, silakan search sendiri.
Salam, Fitri
Bu Fitri, menyambung komen saya di halaman sebelah (saya kesulitan buka halaman tersebut untuk menyambung komen kemarin), saya terakhir menyampaikan rasa kekecewaan saya. Betapa para petinggi dua kementerian yang menangani pendidikan banyak yang tidak amanah. Seperti yang ibu jelaskan tentang pengurusan masalah penstatusan, saya sudah mengalami betapa susahnya. Saya sebutkan demikian:
1. Menurut produk hukum dan kebijakan, saya berhak mendapatkan BPPS. UIN kami tidak mengerti masalah penstatusan karena tidak ada “hitam di atas putih” berupa surat ke rektor/pimpinan perguruan tinggi sebagai dasar untuk implementasi mengurus status saya.
2. UIN berada di dua koordinasi. Saya (sama seperti teman-teman sejawat lainnya yang merupakan dosen non-agama) seperti berada di dua alam yang kedua-duanya sulit diakses. Jiwa saya berada di dimensi alam yang seharusnya memiliki karakter mendidik (kemdikbud), namun secara raga berada di dimensi alam yang seharusnya berkarakter spiritual. Dua alam yang seharusnya menenangkan rohani saya. Pihak pimpinan memiliki alasan tersendiri tidak mengurus karena tidak mengerti dan undangan secara resmi. Mengurus sendiri ke diktis melalui telefon maupun email tidak bisa dilakukan, berangkat ke Jakarta sangat tidak efisien dan akan memerlukan “ongkos tambahan”. Dikti juga yang mengurus BPPS telfonnya selalu tidak diangkat, mengirim email untuk meminta kejelasan permasalahan yang saya hadapi tidak kunjung ada jawaban. Secara hierarki bisa saja melalui diktis lalu minta diteruskan ke dikti, tapi banyak faktor yang menjadi saya enggan melakukannya. Kedua direktorat sering tidak sejalan, padahal tugas dan semangatnya yang harus diusungnya sama (terutama untuk non agama).
3. Kemenag (melalui diktis) yang memutuskan tidak adanya beasiswa tahun ini seharusnya sudah mengantisipasi. Yang terhormat para pimpinan, sebelum memutuskan apapun seharusnya memikirkan ada pihak-pihak yang dirugikan dan merasa sakit, kemudian memikirkan langkah-langkah antisipatifnya, karena Yth seharusnya menjadi suri tauladan bagi kementerian-kementerian lain karena Yth paling banyak referensinya tentang keagamaan/kebenaran, yang nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
4. Bila saya tidak mendapatkan BPPS tahun ini, saya merasa sakit hati oleh kedua kementerian (melalui diktis dan dikti). Di jurusan, saya tidak diam, jumlah staf sedikit (yang berbasis keilmuan jurusan) sangat menguras tenaga dan pikiran, sementara tuntutan-tuntutan kebijakan dan produk-produk hukum dari kedua direktorat yang sama akan terus mengalir, tuntutan-tuntutan mahasiswa adalah kami yang menghadapi, saya mencintai mereka dalam mendidik supaya mereka menjadi orang-orang yang berguna bermental ilmiah dan spritiual. Kompetensi saya dipertaruhkan ketika harus mengajar bukan merupakan bidang yang saya kuasai benar, belum ada doktor (yang aktif) yang mengajar, sejak LB saya sudah merasa memiliki jurusan saya dalam arti positif ingin mengembangkannya. Belum terakreditasi BAN-PT (dikti kan?), mengorbankan mental para mahasiswa selama dan setelah lulus. Saya juga beresiko tidak lagi diterima di PT yang saya tuju, memilih PT yang lain tahun depan (dan bukan hal yang mengenakkan mengurus beasiswa itu, banyak tahapan dan tingkatan yang harus dilalui, menguras tenaga, waktu dan uang, sementara para mahasiswa menunggu kuliah dari saya) Yth telah mengarahkan saya supaya tidak kompeten dalam keilmuan, banyak yang harus dikorbankan (anak istri, mahasiswa, jurusan) padahal tuntutan dikti (BAN-PT) adalah linearitas. Mengajar itu harus dengan kompetensi, tidak bisa asal-asalan dan bukan dengan menerjemahkan textbook matakuliah yang semua orang bisa melakukannya…
Demikian yang ingin saya sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat bagi diri saya sendiri, teman-teman sejawat, rekan-rekan di UIN, rekan-rekan universitas umum, dan terakhir para pimpinan dua direktorat (sekaligus kementerian). Mohon maaf yang sebesar-besarnya bila ada perkataan yang tidak berkenan, mohon dijadikan bahan pelajaran bagi kita semua, amin. Terakhir saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Teh Fitri (walaupun bukan orang Sunda, saya sebut demikian karena saya sangat hormat kepada Ibu) yang telah banyak membantu saya mengerti akan permasalahan ini. Saya banyak terinspirasi oleh sosok Ibu
Wassalam
Dxx
Dik D sebenarnya tadi pagi sebelum berangkat kerja saya sudah tanggapi pertanyaan adik, bisa diperoleh di link http://www.kopertis12.or.id/2011/03/22/mekanisme-pendaftaran-bpps-online-2011-jadwal-01-29-april-2011.html#comment-4568 atau langsung buka web ini http://www.kopertis12.or.id/ menuju sebelah kanan ada menu komentar di klik nama Fitri yang di sampingnya ada tulisan ya betul… bisa muncul
Dibaca dulu ya, saya paham bagaimana kecewanya adik yang sebenarnya berhak BPPS karena UIN Bandung sudah dibawah binaan Kemdikbud.
Terima kasih sudah share pengalaman pahit dalam pengurusan BPPS.
Salam kompak, Fitri.
Sudah baca tadi siang. Ibu menulis
“di situ ada jelaskan (lampiran butir 5) yang berwenang menghubungi mereka….”, nah masalahnya adalah di
“UIN kami tidak mengerti masalah penstatusan karena tidak ada “hitam di atas putih” berupa surat ke rektor/pimpinan perguruan tinggi sebagai dasar untuk implementasi mengurus status saya” seperti yang saya tulis pada poin 1
Saya tadi siang menghubungi pihak PR (Pembantu Rektor) I, dan diterima asistennya, katanya tidak bisa mengurus karena tidak ada “hitam di atas putih”, segalanya harus serba jelas. Inilah masalah utamanya. Malah sarannya kalaupun harus mengurus, lebih baik secara hierarki melalui diktis dulu lalu ke dikti, dan itu yang mengurusnya harus kami (saya dengan rekan saya) sendiri. rekan saya juga sudah berinisiatif sendiri mengontak BPPS (yang no telfonnya persis yang Ibu berikan), namun beberapa kali telfon dalam waktu yang berbeda tidak diangkat juga. Saya email ke bpps juga (4 hari lalu) tidak ada balasan. Kalaupun begitu sibuknya mereka sebenarnya tidak perlu begitu-begitu amat, saya sebagai “adik dan anak-anak mereka”, seharusnya mereka memiliki mentalitas yang lebih baik menghadapi berbagai situasi dibanding kami yang junior tidak tau apa2. email diktis juga sering gagal, dan saya enggan menelfon karena rekan saya juga pernah mengalaminya.
Demikian Bu, poin-poin yang sudah saya sebutkan sebenarnya mewakili deskripsi yang sudah kami lakukan.
Inilah yang membuat saya pusing, bingung, sakit hati
satu hal lagi Bu yang lumayan “mengerikan” dari korban kebijakan dan lemahnya koordinasi. tingkat direktorat. Ada dosen UIN Jakarta tahun 2011 lalu dapat BPPS di UI, sekarang mereka dihentikan BPPS-nya karena dengan alasan dana beasiswa sudah ada untuk diktis.
Dik Dxx nanti setelah selesai kerjaan, saya susun pengalaman pahit ini dan upload di web dan GDI, agar bisa jadi perhatian.
Tahun lalu ada juga teman di GDI dik Taufik dkk dari UIN melamar BPPS, lancar sampai tahap terakhir baru ditolak dengan alasan tidak diprioritaskan padahal waktu itu di pedoman tahun 2011 masih ada cantumkan BPPS berlaku untuk semua dosen tetap di Indonesia termasuk dosen tetap PTAI (sepertinya kebanyakan isi dari pedoman 2011 merupakan salinan bulat-bulat dari yang tahun 2010 tanpa perhatikan sudah ada perubahan kebijakan). Walau awalnya sakit dan kecewa, namun Dik Taufik pantang menyerah dan lanjut dengan mencari beasiswa lain, Alhamdulillah setelah beberapa bulan berlalu, adik ini berhasil peroleh beasiswa ADB yang ditawarkan pemerintah Australia dan saat ini sudah mempersipakan keberangkatan ke sana.
Sedih mendengar teman-teman UIN Jakarta yang BPPSnya dibatalkan secara mendadak setelah mereka sempat mengikuti kuliah selama 2 semester, bagaimana nasibnya kalo mengingat uang kuliah pasca UI kan tak murah, belum tentu bisa peroleh dari Kemenag (tahun 2012 Kemenag hanya selenggarakan BLN, untuk yang dalam negeri hanya short course aja), apalagi kalo database sudah di Dikti apakah Diktis mau mengakui mereka? semoga Allah SWT memberi kelapangan dan membuka pintu rejeki ke umatnya yang sedang teraniaya akibat ketiada biaya untuk melanjutkan, rahmati mereka agar sanggup melanjutkan studi dan selesai dengan mulus, amiin YRA.
Ok saya cukupkan di sini, masih ada sedikit kerjaan.
Wassalam, Fitri.
Namanya juga posting bu…bolehkan kita koment.maaf bukan tidak menghargai.
Bu Fitri, mohon tanggapannya. Saya Dosen AKPARNAS dari Banjarmasin. Sudah mengajukan BPPS gelombang 1. Bagaimana ya dengan status saya? apakah sudah dosen tetap atau honorer di DIKTI? sebenarnya dari AKPARNAS saya sudah dosen tetap, kalau misalnya di DIKTI masih honorer, kemana saya harus mengurus status tetap saya, ke Kopertis atau ke AKPARNAS? terima kasih bu.. mohon ditanggapi
Bu Lidia, Akademi Pariwisata Nasional Banjarmasin dengan kode PT 114058 terdata di Dikti, namun kalo mau tahu status Bu Lidia dosen honorer atau dosen tetap, harus ada nama lengkap dan NIDN, kalo Ibu masukkan nama lengkap (tanpa gelar) atau NIDN ke laman http://evaluasi.dikti.go.id/ menu data dosen, nanti sudah tampil ibu klik di digit NIDN akan nampak status ikatan kerja berupa dosen tetap atau honorer, pagi ini web evaluasi.dikti.go.id seperti ada gangguan teknis, dari tempat saya tak bisa akses. Untuk perubahan data dosen termasuk ajukan status dari dosen tidak tetap ke dosen tetap melalui operator Epsbed di tempat Ibu bertugas, pengajuan ke Diktendik Dikti untuk semester ganjil dari bulan Juli-Agustus, untuk semester genap dari bulan Jan-Feb.
Salah satu syarat mutlak Beasiswa Dikti harus berstatus dosen TETAP, penstatusan PEMILIK DOSEN pada saat melamar beasiswa BPPS Dikti untuk PTS dilakukan oleh Kopertis ybs.
Salam, Fitri.
maaf bu, saya juga tidak bisa mengakses. nomor NIDN saya 1114118601, atas nama mauliddia miranda. terima kasih banyak bu atas bantuannya.
Dik Lidia sepertinya web http://evaluasi.dikti.go.id/ sedang ada gangguan teknis sehingga tak bisa akses, btw kalo sudah distatuskan Kopertis tandanya Ibu sudah memenuhi persyaratan diijinkan mendaftar (berstatus dosen tetap, memiliki NIDN di PT di lingkungan Kemdikbud dll). Selanjutnya ditunggu pengumuman dari Dikti yang biasanya diumumkan oleh masing-masing Pps Penyelenggara melalui website mereka atau langsung ke Kopertis/PT pemilik dosen, dan juga di akun calon pelamar beasiswa BPPS.
Semoga sukses, salam, Fitri
kata kopertis tempat saya bertugas, saya sudah distatuskan untuk BPPS.. apakah itu berarti saya sudah tetap bu? terima kasih. mungkin nanti saya akan banyak bertanya kepada ibu… mohon ijin ibu…
terima kasih banyak bu informasinya.. semoga segala urusan ibu berjalan dengan lancar.. saya sangat berharap bisa masuk sebagai salah satu penerima BPPS..
maaf bu, nanya lagi. menurut http://evaluasi.dikti.go.id/epsbed/datadosen/1114118601, saya berstatus dosen honorer. bisa tidak dengan status itu tapi sudah distatuskan oleh kopertis? ada tidak kemungkinan diterima oleh DIKTI sebagai penerima BPPS
Kalo ketahuan team Dikti 100% tak bisa, mungkin kopertis anda khilaf tak periksa data adik langsung lakukan penstatusan, team BPPS biasanya sangat memperhatikan hal ini. Sebaiknya ajukan perubahan data dosen tidak tetap ke dosen tetap melalui operator Epsbed di kampus Bu Lidia, prosesnya kadang lama kadang cepat tergantung kesibukan team ybs. Seandainya setelah pengumuman (yang mungkin di awal-pertengahan Agustus) adik fail karena status honorer masih bisa mengikuti BPPS tahun depan. Jadwal pengajuan perubahan Data dosen untuk semester ganjil hanya terima di bulann Juli-Agustus dan genap di Jan-Feb. Berkas yang perlu disampaikan :
Dokumen Pendukung Pengajuan Dosen Tidak Tetap menjadi Dosen Tetap
– KTP Terbaru
– Ijazah Lengkap (mulai S-1/D-4), Bagi Lulusan PT Luar Negeri disertakan SK Penyetaraannya
– SK sebagai Dosen Tetap
– Surat Pernyataan sesuai dengan SK Dirjen Dikti Nomor : 108/DIKTI/Kep/2001.
http://akademik.dikti.go.id/data/2010/formulir/Surat%20Pernyataan%20Dosen%20Tetap.pdf
OK ya saya cukupkan diskusi kita sampai di sini, maaf keterbatasan waktu tak memungkinkan melayani individu secara berterusan, masih ada tugas menumpuk di beberapa perusahan tempat cari hidup…^_^
Salam, Fitri
Bu, saya ingin menanggapi komentar Ibu “kalau ketahuan tim dikti 100% tak bisa, ….”. Komentar Ibu tidak ada yang salah. Dengan momen komentar Ibu, di sini saya hanya mau mengingatkan para pejabat eselon tinggi di dikti dan diktendik harus dapat memilah-milah persoalan, apalagi Bapak-bapak/Ibu-ibu Yth yang menjabat tentu lebih “berpendidikan dan berkebudayaan”. Perangkat lunak hanya bisa bekerja untuk menentukan “ya” dan “tidak”, “bisa” dan “tidak bisa”, “OK” dan “No”. Kalau mau lebih “berbudaya” pada software harus ditambah parameter-parameter lain (diupdate), checking yang hanya satu parameter saja akan banyak menimbulkan permasalahan. Bila memang belum ditingkatkan sistemnya maka sangat perlu dilakukan “rechecking” yang menurut pemahaman saya adanya konfirmasi kepada pihak-pihak berkepentingan atau setidaknya memberikan kesempatan untuk membuktikan secara tertulis (otentik) kepada (para) pelamar.
Beberapa hari lalu saya iseng mencari nama-nama besar (dosen-dosen) yang kompeten di bidangnya yang bertugas di beberapa perguruan tinggi ternama, saya coba cocokkan antara yang tercantum pada data NIDN di http://evaluasi.dikti.go.id dengan pangkat/jabatan/golongan terakhir mereka, saya melihat banyak sekali data NIDN tidak terupdate, ternyata kisarannya 1-3 tahun. Misalkan Bapak “A” tercantum di data dikti menjabat Lektor dengan golongan IIId namun kenyataannya Bapak “A” ini telah menjadi guru besar dan saya mengetahuinya sudah sekitar 2 tahun lalu beliau sudah menjadi profesor.
Saya juga mau mengkritisi masalah kebijakan pemerintah yang seringkali gonta ganti kebijakan (yang sebenarnya ingin lebih baik) ternyata kualitas pelayanannya tidak meningkat secara signifikan. Kita boleh saja menyebut sebagai bangsa yang besar dan telah merdeka 67 tahun yang lalu, namun ketertiban administrasi belum juga mapan dan berpihak sebesar-besarnya pada kepentingan rakyat dan bangsa (bukan kerabat, teman karib, dan ABS). Saya tidak menafikan masalah nepotisme asalkan benar-benar kompeten. Namun demikian objektivitas harus ditempatkan di atas nepotisme, betapa praktek-praktek nepotisme ini telah banyak membuat sakit hati orang-orang yang lebih berkompeten namun mereka tidak berada dalam lingkaran kekuasaan. Dan, harus diingat bahwa doa orang yang terdzalimi itu manjur.
Dalam pengadilan (hukum), kasus apapun harus memiliki semua bukti sekecil apapun harus dihadirkan dalam persidangan. Masalah checking data NIDN juga harus demikian. Namun demikian hukum di negara ini belum menjadi “panglima”, yang menjadi panglima adalah kekuasaan dan keserakahan. Apakah Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang berpendidikan dan “berkebudayaan” tinggi (representasi “dikti”) akan meniru jejak “budaya” seperti ini?
Banyak sekali permasalahan negeri ini yang sebenarnya ironis dengan kebesaran dan usia bangsanya. Sosialisasi kebijakan yang sangat memiliki arti penting sampai kalangan akar rumput biasanya minim, berbeda signifikan ketika masa kampanye partai-partai dan pemilu 5 tahunan. Betapa status pekerjaan di KTP jarang sekali “ditiadakan” atau ada status khusus yang diatur kemendagri, kemeninfo, dll yang berkepentingan, padahal sebenarnya merupakan “pengangguran”. Pengecekan yang sangat ketat baru terasakan bagi seseorang yang ingin mengajukan pinjaman ke bank, sampai ditelusuri sekecil-kecilnya data pekerjaan dan penghasilannya, artinya adalah bahwa data kependudukan tidak banyak artinya dipandang oleh pihak bank yang tentu saja tidak ingin rugi dan macet pengembalian pinjamannya. Namun, akal-akalan selalu saja ada bagi pihak peminjam bagaimana data penghasilannya bisa disulap menjadi layak distatuskan diberi pinjaman atau malah sering pula dibantu oleh “tim” manajemen pemasaran dari pihak bank.
Semua permasalahan dan keterbatasan yang dimiliki di atas, baik oleh sistem maupun khusus instansi, khususnya tim pengelola BPPS dikti, sudah sewajarnya dicermati. NIDN hanya dilakukan setiap 6 bulan sekali, dan bila status itu secara formal sebagai dosen tetap berada pada pertengahan antar 6 bulanan itu dan ingin mendaftar program-program dikti yang mengharuskan adanya pengecekan NIDN ini, saya yakin data itu banyak ketidakakuratannya. Pengadaan NIDN sudah bagus dan perlu didukung, namun tidak pula diejawantahkan hanya secara program perangkat lunak saja.
Demikian Bu Fitri komentar saya kepada para pejabat, salam Dzulqarnain