Opini
Petisi untuk Wapres

http://edukasi.kompas.com/

Senin, 4 Maret 2013 | 11:36 WIB
Oleh Acep Iwan Saidi

KOMPAS.com – Selamat pagi, Pak Wakil Presiden. Ketika tahun lalu Anda menulis esai bertajuk ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27 Agustus 2012), harapan mengenai perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik membuncah di benak saya.

Bukan semata-mata karena gagasan Anda yang brilian pada tulisan itu, melainkan yang utama dan pertama adalah kebesaran hati Anda untuk berkenan menyapa publik, rakyat yang Anda pimpin. Sudah terlalu lama kita tidak mendengar ”suara intelektual” seorang pemimpin di ruang publik melalui sebuah tulisan.

Anda pun ternyata bukan sekadar menulis, melainkan juga mengambil tanggung jawab untuk merealisasikan gagasan tersebut dengan membentuk Tim Kurikulum 2013, tentu saja melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sungguh pekerjaan yang mulia. Kurikulum adalah kompas bagi dunia pendidikan. Jika kita yakin pendidikan merupakan fondasi kehidupan, jelas kurikulum adalah petunjuk arah ke mana bangsa ini akan melangkah.

Kita semua tahu belaka hasil kerja Tim Kurikulum itu menuai banyak masalah. Pro dan kontra terjadi. Sebagian pihak memang menganggap itu hal biasa ketika kita mau mengadakan perubahan. Namun, saya tidak sepakat. Sekecil apa pun derau hendaknya disikapi. Ini bukan soal politik. Jangan sampai keputusan pemberlakuan kurikulum berdasar pada perbandingan jumlah yang pro dan kontra, sebagaimana sinyalnya telah dikirim Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah beberapa waktu lalu. Bahwa, kurikulum akan tetap dijalankan sebab jumlah yang mendukung lebih banyak daripada yang menolak (Kompas, 14/2).

Pak Wakil Presiden, bagi saya soalnya bukan pada pro dan kontra sedemikian, tetapi pada sebatas mana kurikulum tersebut dapat dijelaskan ”secara rasional” kepada publik. Saya melihat Mendikbud tidak bekerja dalam nalar demikian, tetapi cenderung memilih mekanisme defensif dalam kebersikukuhan kuasa. Ia memang melakukan uji publik, tapi tampak istilah ini hanya nama lain dari sosialisasi.

Sebagai sebuah sosialisasi, kurikulum tetap akan dijalankan. Apa pun tanggapan publik. Dengan kata lain, uji publik hanya sebuah alibi untuk legitimasi politik bahwa kurikulum telah mendapat persetujuan publik.

Simplifikasi

Faktanya, Kurikulum 2013 memang layak dipertanyakan. Berikut saya tunjukkan beberapa bagian pada bidang yang sesuai dengan konsentrasi studi saya, yakni pelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang sekolah dasar, yang secara lebih jauh ditinjau dalam perspektif kebudayaan. Saya berharap hal ini bisa menjadi perhatian Pak Wapres.

Pada bagian Kompetensi Inti (KI) bidang studi Bahasa Indonesia tertulis empat KI, yakni: ”(1) Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya; (2) Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru; (3) Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah; dan (4) Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia”.

Empat KI ini sama untuk seluruh kelas (I-VI). Dalam dunia tulis-menulis, kita biasa mengatakan kasus semacam ini dengan istilah tempel-salin (copy-paste).

Empat KI yang sama tiap kelas tersebut dikembangkan menjadi beberapa kompetensi dasar (KD) yang sangat formalistik. Untuk KI pertama terdapat dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing lima KD. Itu untuk kelas I-V. Untuk kelas VI, KI pertama dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing empat KD.

Sekilas perumusan itu mungkin tak bermasalah. Namun, ditelaah lebih jauh tampak bagaimana pola pikir positivisme menjadi basis dan membelenggu kurikulum ini. Soal kemanusiaan (bahasa) direduksi atau disimplifikasi dengan penyeragaman pada lapis permukaan. Jadi, apa bedanya Kurikulum 2013 dengan kurikulum lama jika dasar ontologi dan efistemologinya sama. Tentu yang berbeda hanyalah kemasannya. Di samping itu, pola tersebut juga menjadi kontradiktif dengan semangat yang sering digemborkan, yakni menciptakan siswa kreatif dan berkarakter.

Petisi

Baiklah, Pak Wapres, meskipun rumusan KI dan KD tersebut tetap harus diperdebatkan, saya tidak ingin memperpanjangnya. Sekarang tolong perhatikan dengan saksama isi dari tiap KI yang dikutip di atas. Saya pikir, ”barang siapa” yang berpikir dengan jernih pasti tidak akan pernah mengerti, bagaimana mungkin sebuah bidang studi yang dinamai Bahasa Indonesia, di dalam KI-nya tidak sedikit pun bicara inti pelajaran Bahasa Indonesia. Demikian halnya dalam KD-nya (silakan Bapak periksa sebab tidak mungkin dikutip di sini).

Jika dipersingkat, studi saya atas kurikulum bidang pelajaran Bahasa Indonesia sampai pada kesimpulan bahwa secara substansial sebenarnya bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Bahasa Indonesia hanya disikapi sebagai alat dalam sebuah bidang studi yang dinamai Pelajaran Bahasa Indonesia. Perhatikan, misalnya, salah satu KD untuk kelas VI adalah ”memiliki kepedulian dan tanggung jawab tentang ciri khusus makhluk hidup dan lingkungan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia”.

Saya mengerti Kurikulum 2013 bersifat integratif sehingga dalam KD di atas pengetahuan alam diintegrasikan ke dalam bidang studi Bahasa Indonesia (meskipun terkesan mengada- ada). Namun, nama sebuah bidang studi adalah pusat dari berbagai disiplin yang diintegrasikan pada bidang bersangkutan. Jadi, untuk pelajaran Bahasa Indonesia, pokok kalimat KI dan KD-nya harus bahasa Indonesia. Pada kasus KD tadi, memiliki kepedulian dan tanggung jawab melalui pemanfaatan bahasa jelas berbeda dengan memahami bahasa untuk memiliki kepedulian dan tanggung jawab. Yang terakhir itulah yang mestinya menjadi KD bidang studi Bahasa Indonesia.

Baiklah, Pak Wapres, ruang ini terlalu sempit untuk mengurut berbagai kekacauan pada kurikulum tersebut. Sebagai penutup, mewakili semua pihak yang mempertanyakan kurikulum ini, dengan tegas saya menyatakan menolak. Esai ini adalah sebuah petisi. Demi masa depan bangsa, mohon kiranya Bapak mempertimbangkan kembali pemberlakuan kurikulum ini. Masih banyak waktu. Saya kira kita sepakat bahwa tergesa-gesa justru sering mengurangi kecepatan.

Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

>>>

Sebelumnya beliau pernah menulis:

Opini
Surat untuk Presiden


http://nasional.kompas.com
Acep Iwan Saidi

Kamis, 23 Februari 2012 | 08:51 WIB
Dibaca: 127433 dan 2,626 people like this.

Selamat malam, Pak Presiden! Dari Daniel Sparringa, salah seorang staf Anda, yang berbicara pada acara Soegeng Sarjadi Syndicate di TVRI—maaf lupa tanggal tayangnya—saya mendapat informasi bahwa Anda sering bangun malam. Katanya lagi, Anda membaca dan merenung, memikirkan berbagai permasalahan bangsa yang kian hari kian jelimet, kian ruwet.

Oleh karena itu, saya alamatkan surat ini kepada Anda yang begitu ”mengakrabi malam”. Saya pun menulisnya dalam larut, sehari setelah menyaksikan kesaksian Angelina Sondakh untuk kasus yang kita semua sudah tahu belaka itu.

Angie yang cantik, kita juga tahu, adalah salah satu pejabat tinggi di partai yang Bapak bina. Artinya, langsung atau tidak, Angie adalah binaan Anda.

Pak Presiden, sebelumnya perlu Anda ketahui bahwa pada pemilihan presiden tahun 2004, saya adalah salah seorang yang memilih Anda.

Tentu saja, sebagai orang yang merasa diri intelektual, saya tidak sembarang memilih. Sebelum menentukan pilihan, saya merasa wajib untuk melakukan ”riset kecil-kecilan”, mulai dari menelusuri kehidupan masa kecil hingga perilaku paling mutakhir para calon presiden saat itu.

Pilihan saya jatuh kepada Anda karena pada waktu itu Anda mengingatkan saya pada sosok Arok dalam roman Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

Tentang Arok

Dengarlah apa yang dicatat Pram tentang Arok melalui mulut tokoh Dang Hyang Lohgawe berikut ini. ”Dengan api Hyang Bathara Guru dalam dadamu, dengan ketajaman parasyu Hyang Ganesya, dengan keperkasaan Hyang Durga Mahisa suramardini, kaulah Arok, kaulah pembangun ajaran, pembangun negeri sekaligus. Dengarkan kalian semua, sejak detik ini, dalam kesaksian Hyang Bathara Guru yang berpadu dalam Brahma, Syiwa, dan Wisynu dengan semua syaktinya, aku turunkan pada anak ini nama yang akan membawanya pada kenyataan sebagai bagian dari cakrawati. Kenyataan itu kini masih membara dalam dirimu. Arok namamu” (1999: 53).

Demikianlah, Pak Presiden, imajinasi saya tentang Anda kala itu. Namun, dalam perjalanannya, perlahan-lahan imajinasi tersebut pupus. Entah karena apa, dalam mata batin saya, gambaran tritunggal (Brahma, Syiwa, dan Wisynu) sirna dari diri Anda. Saya tidak lagi merasakan sorot mata Sudra, sikap Satria, dan esensi Brahmana.

Hingga hari ini, Anda memang sangat santun, tetapi kesantunan itu terasa tak memiliki aura. Memandang Anda—artinya mencoba mengerti dan menerima kepemimpinan Anda—saya seperti menatap sebuah potret dalam bingkai. Sebuah potret, tentu bukanlah realitas sebenarnya. Ia adalah realitas citra.

Barangkali tidak ada yang salah dengan Anda, Pak Presiden. Kekuasaan, dalam sejarah bangsa mana pun, memang memiliki karakter pengisap. Barangsiapa tidak mampu menaklukkannya, ia akan tersedot hingga ke rangka. Sirnanya tritunggal yang saya imajinasikan terdapat pada sosok Anda kiranya juga karena isapan gravitasi kuasa tersebut.

Matinya tritunggal sedemikian meniscayakan hidupnya kelemahan tak terelakkan pada diri Anda. Lihatlah, sayap Anda patah. Anda tidak mampu menjadi ”Garuda Yang Terbang Sendiri”—meminjam judul drama Sanoesi Pane. Ada semacam kekhawatiran pada diri Anda jika terbang sedemikian, yakni kecemasan untuk tidak bisa kembali hinggap pada takhta yang notabene mengisap Anda secara terus-menerus itu. Anda lebih suka diisap daripada menyedot habis daya kuasa. Anda dikuasai, bukan menguasai.

Itulah kiranya, disadari atau tidak, yang membuat Anda selalu terjaga saat larut seperti dikisahkan Sparringa. Tanpa keluh kesah kepada Sparringa, saya pikir tubuh Anda sendiri telah berbicara. Di balik baju kebesaran presiden, Anda tidak bisa mengelak kalau sorot mata Anda makin sayu, satu-dua keriput bertambah di wajah Anda. Jika saja Anda bukan presiden, barangkali sepanjang hari Anda akan tampak lusuh, layaknya seorang bapak yang capek memikirkan ulah anak-anaknya yang kelewat nakal. Wajah Anda tak lagi bersinar seperti sebelum jadi penguasa.

Gara-gara korupsi

Pemberantasan korupsi yang menjadi jargon partai binaan Anda, Pak Presiden, itulah yang saya pikir menambah satu-dua kerutan di wajah Anda tahun-tahun terakhir ini. Saya yakin Anda dan keluarga tidak melakukan tindakan kriminal tersebut, tetapi Anda terjebak dalam kepungan para bandit.

Kiranya Anda juga sang pemilik gagasan besar jargon pemberantasan korupsi tadi sehingga dengan sangat yakin Anda memasang badan di barisan paling depan pendekar pembunuh koruptor. Sayang, nyatanya Anda dikhianati. Anda jadi sandera di dalam jargon yang Anda gagas. Akibatnya, Anda menjadi sangat lemah. Anda tahu kepada siapa Anda mesti marah, tetapi Anda juga tahu hal itu tidak mungkin dilakukan. Ah, betapa menyakitkan hidup seperti itu.

Pak Presiden yang terhormat,

Malam semakin larut, tetapi kian gelap dan sunyi di luar, kian benderang hati kita di dalam. Drama Nazar dan Angie pastilah akan semakin jelas jika ditatap dalam suasana seperti ini.

Ketahuilah, penyelesaian kasus pelik yang menimpa mereka, juga banyak kasus lain, hanya bertumpu kepada Anda. Sekuat apa pun KPK, saya tidak yakin lembaga ini bisa menyelesaikannya. Anda mungkin tidak mengintervensi KPK dan penegak hukum dalam arti negatif, tetapi ketahuilah, tangan Anda bisa memanjang tanpa Anda ketahui, kekuasaan Anda bisa membengkak tanpa Anda sadari.

Ingatlah selalu bahwa Anda sedang terus-menerus dikhianati. Jadi, mohon keluarlah. Anda sudah mampu menguasai malam. Itu artinya Anda bisa menyongsong fajar saat semua makhluk sedang lelap. Ini kali saatnya Anda meradang, dan menerjang—meminjam sajak Chairil Anwar. Jadilah garuda agar kami menjadikan Anda lambang yang selamanya terpatri di dada.

Saya seorang dosen, Pak Presiden. Nyaris setiap hari saya membicarakan hal-hal ideal dengan mahasiswa. Kepada para mahasiswa saya selalu mengajarkan mimpi tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan. Jadi, tolong saya, Pak Presiden, tolong bantu saya untuk menjadikan ajaran itu bukan ilusi, apalagi dusta.

Maka, jawablah permohonan ini dengan sebuah tindakan: bahwa besok pagi, saat fajar tuntas memintal malam, Anda akan menjadi presiden yang revolusioner. Atas apa pun yang bernama kuasa, jadikanlah diri Anda Arok, sang pembangun itu!

Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB