Pembiayaan Riset Berkelanjutan

DIPI Tidak Mematok Besaran Dana Hibah

31 Maret 2016
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti yang hendak menekuni riset fundamental mencari kebaruan dalam ilmu pengetahuan kini terjamin didanai dan tak perlu disibukkan oleh urusan administrasi penunjang. Hal itu dimungkinkan melalui skema hibah riset dari Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) merupakan lembaga independen di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang menyediakan pendanaan berkelanjutan bagi riset fundamental. Dalam jangka pendek, hasil riset fundamental tidak akan langsung terlihat karena berupaya mencari kebaruan pada bidang ilmu tertentu, termasuk kaidah, model, dan teori baru. Namun, tanpa riset fundamental, tak ada modal ilmiah yang mendasari lahirnya inovasi dan teknologi bermutu.

“Pengelolaan dana oleh DIPI independen, tidak terikat mekanisme keuangan negara pada umumnya,” kata Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro saat peresmian DIPI, Rabu (30/3), di Jakarta. Dana DIPI bisa membiayai riset beberapa tahun, tak seperti APBN yang bersiklus tahunan.

Hal itu membuat pembiayaan fleksibel. Peneliti tak perlu membuat laporan keuangan rinci dilengkapi berkas seperti jika menggunakan APBN. Peneliti bisa lebih fokus pada substansi riset.

Selama ini, peneliti disibukkan administrasi, mencatat pengeluaran, termasuk ongkos portir atau ojek. Bahkan, mengumpulkan nota fotokopi. “Seorang doktor fisika bisa-bisa lebih ahli urusan administrasi ketimbang bidang fisika,” ujar Bambang.

Namun, ia mengingatkan, pengurus DIPI harus menjaga akuntabilitas pengelolaan dana karena itu dana publik.

Wakil Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro, perancang pembentukan DIPI, menjamin DIPI punya prosedur pengelolaan yang bisa dipertanggungjawabkan meski tak menggunakan rezim APBN. Caranya, peneliti terpilih dipastikan punya rekam jejak riset terpercaya.

Jangka panjang

Satryo menjelaskan, dengan skema APBN, dana bagi riset fundamental sulit berjalan. Sebab, penelitian hanya boleh di tahun anggaran bersangkutan dan hasil riset dituntut ada pada tahun itu juga. Padahal, riset fundamental bisa bertahun-tahun, tak mungkin beberapa bulan. “Karena itu, peneliti astronomi tidak pernah dapat karena riset mereka sangat teoretis,” ujarnya.

Selain itu, jika riset gagal atau hasil tak sesuai rencana, peneliti melanggar regulasi keuangan rezim APBN. Padahal, perbedaan hasil dengan dugaan awal bisa menghasilkan kebaruan. Ketua AIPI Sangkot Marzuki mencontohkan, pada 1880-an, Christiaan Eijkman meneliti 10 tahun di Batavia untuk menemukan mikroba penyebab beri-beri sehingga bisa mengetahui obatnya.

Eijkman gagal menemukan mikroba target, tetapi mendapat kebaruan bahwa beri-beri bukan disebabkan mikroba, melainkan kekurangan vitamin B1. Itu membuat Eijkman diganjar Nobel bidang fisiologi tahun 1929. Dengan birokrasi penelitian saat ini, hal itu tidak mungkin diberi tempat sehingga DIPI lahir untuk mengatasinya.

Berdasarkan Atlas of Islamic World Science and Technology yang dirilis Royal Society pada 2014, alokasi anggaran penelitian ilmu pengetahuan dasar di Indonesia terus menurun setiap tahun dan tinggal 10 persen dari total dana riset pada 2012. Selain itu, data SCImago Journal and Country Rank, selama 1996-2014 Indonesia hanya posisi ke-57 di dunia dalam jumlah artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional. Adapun Singapura peringkat ke-32, Malaysia ke-36, dan Thailand ke-43.

DIPI dipercaya menggalang dana dari pemerintah, swasta, dan sumber internasional. Saat ini, sumber dananya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) didukung Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative Amerika Serikat melalui Badan untuk Pembangunan Internasional AS (USAID) dan Kerajaan Inggris lewat Newton Fund.

Satryo memperkirakan, DIPI membutuhkan Rp 400 miliar per tahun untuk hibah riset, tetapi realisasi bisa lebih atau kurang, bergantung jumlah proposal riset yang masuk. “Kalau dipatok, uang tidak terbatas. Yang membatasi itu kemampuan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif DIPI JW Saputro mengatakan, ada delapan tema riset yang bisa didanai. Tahun ini diprioritaskan dua tema, yaitu identitas, keragaman, dan budaya; serta kehidupan, kesehatan, dan nutrisi. Ia berharap peneliti yang mengajukan sudah membentuk konsorsium dengan peneliti lain. Lebih baik lagi jika multidisiplin ilmu.

Satryo menambahkan, syarat bagi peneliti yang ingin mengajukan proposal riset adalah harus mampu mencapai terobosan baru atau memutakhirkan ilmu yang sedang berkembang. Tidak ada syarat umur atau status pendidikan, tetapi rekam jejak peneliti dalam riset harus kuat. Proposal dikaji tim ahli, termasuk ahli asing. Jika lolos, kebutuhan dana dihitung, lalu DIPI meminta dana pada LPDP. (JOG)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Pembiayaan Riset Berkelanjutan”

Baca juga :