Indonesia Yakin Mampu Bersaing

Pengembangan Sel Punca Butuh Dana Besar

15 April 2016

JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan sel punca di Indonesia tak kalah dibandingkan dengan negara lain. Sebagai teknologi yang relatif baru, pengembangan sel punca di negara lain pun masih dalam tahap riset, sama seperti di Indonesia. Namun, dana riset sel punca di Indonesia sangat terbatas.

“Jika Indonesia mau bertarung sangat mungkin karena semua negara sama-sama baru memulai,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ratna Sitompul saat menerima kunjungan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir di Unit Pelayanan Terpadu Teknologi Kedokteran Sel Punca Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)- FKUI, Jakarta, Kamis (14/4).

Dengan kondisi itu, para peneliti yakin pengembangan sel punca di Indonesia bisa bersaing dengan institusi lain di luar negeri, seperti Universitas Nasional Singapura (NUS) dan Universitas Tokyo, Jepang. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, Indonesia di masa depan bisa menjadi salah satu rujukan riset dan layanan sel punca di Asia Pasifik.

“Tenaga ahli Indonesia jauh lebih banyak dan berkualitas,” kata Direktur Utama RSCM C Heriawan Soejono.

Terapi sel punca diperkirakan akan menjadi tren. Rumah sakit di Indonesia yang jadi pengampu riset sel punca berbasis layanan adalah RSCM dan RS Umum Daerah dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Sejak 2007 hingga Oktober 2015, RSCM melakukan terapi 42 pasien gangguan tulang, 43 gangguan jantung, 3 penderita diabetes, dan 5 pasien luka bakar. RSUD dr Soetomo sejak 2008 menerapi 379 pasien diabetes, nyeri sendi lutut, stroke, jantung, penyakit hati, saraf, dan penyakit darah (Kompas, 29/10/2015).

Kepala Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM-FKUI Ismail Hadisoebroto mengatakan, karena masih tahap penelitian, sel punca di seluruh dunia belum menjadi standar pelayanan. Hingga kini, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) baru menyetujui satu produk terapi sel punca, hemacord, untuk kelainan darah.

Karena masih tahap riset, belum jadi layanan standar, dana riset sel punca tak bisa diambil dari pasien atau asuransi kesehatan. Terlebih, hal itu jadi salah satu penilaian dalam akreditasi internasional rumah sakit Joint Commission International yang diperoleh RSCM sejak 2013. Untuk itu, butuh dukungan dana besar pemerintah untuk mengembangkan sel punca.

Dana riset

Biaya terapi sel punca sangat besar. Ismail mencontohkan, terapi sel punca pasien luka bakar butuh Rp 200 juta per pasien, defek tulang Rp 150 juta per pasien, dan cedera tulang belakang Rp 300 juta per pasien. Penelitian hanya untuk 10 pasien saja pada penyakit itu sudah Rp 1,5-Rp 3 miliar. Dana itu sangat besar mengingat total dana penelitian UPT Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM-FKUI pada 2015 hanya Rp 2,3 miliar.

Untuk mewujudkan layanan sel punca berdasarkan praktik klinik terbaik kepada pasien, dibutuhkan banyak pasien untuk diteliti. Itu artinya butuh dana besar. “Tahun ini, kami mengajukan dana penelitian sel punca Rp 20 miliar,” ujarnya.

Jika besaran dana riset itu terpenuhi dan berkelanjutan, UPT Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM-FKUI diharapkan mampu menghasilkan sel punca dalam skala industri pada 2018. Dengan demikian, jika peminat terapi sel punca kian banyak, terapi bisa dilakukan cepat, tak perlu menunggu 3-4 minggu waktu pembiakan sel atau antre penggunaan inkubator dan biosafety cabinet dalam laboratorium.

“Untuk skala industri butuh mesin bioreaktor yang bisa memproduksi sel punca secara massal,” ujar Ismail.

Seusai mendengar paparan sejumlah peneliti sel punca RSCM-FKUI dan berbagai persoalan, Nasir meminta Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati melakukan sinkronisasi pembiayaan sehingga para peneliti sel punca tak kesulitan.

Meski demikian, Nasir mengingatkan, sama seperti riset lain, riset sel punca juga harus berorientasi hasil, bukan aktivitas. Selain itu, setiap lembaga riset harus fokus atau punya keunggulan tertentu sehingga tak terjadi pengulangan riset atau lembaga berbeda meneliti hal sama.

“Tahun ini, Kemristek dan Dikti mengalokasikan anggaran Rp 1,7 triliun untuk riset dan Rp 1,2 triliun di antaranya sudah cair,” ucapnya. Dana itu untuk riset yang fokus tujuh bidang. Penelitian sel punca bisa masuk penelitian kesehatan dan obat.

Penelitian kesehatan dan obat sangat penting, kata Nasir, karena pembangunan kesehatan salah satu kunci peningkatan kesejahteraan. Untuk itu, setiap perguruan tinggi perlu mengalokasikan dana riset untuk bidang itu. Regulasi yang menghambat juga harus diselesaikan. (MZW)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2016, di halaman 13 dengan judul “Indonesia Yakin Mampu Bersaing”.