DOKTER LAYANAN PRIMER
PB IDI Usulkan Revisi Undang-undang

26 Juli 2016
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan amandemen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran untuk membatalkan ketentuan dokter layanan primer. Langkah itu ditempuh setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan pengaturan dokter layanan primer dalam undang-undang itu sesuai konstitusi.

Aturan DLP di UU Pendidikan Kedokteran dinilai akan menjatuhkan nilai lulusan pendidikan dokter, bahkan bisa berujung kriminalisasi bagi dokter umum.

“Konflik horizontal di layanan primer akan terjadi. Jangan mengadu dokter layanan primer dan dokter umum,” ucap Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prof I Oetama Marsis, Senin (25/7), saat pengusulan amandemen UU No 20/ 2013 dalam audiensi dengan Badan Legislasi DPR, di Jakarta.

Marsis menekankan, kategori dokter dalam UU Pendidikan Kedokteran berbeda dengan UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran sehingga bisa menimbulkan kebingungan hukum. UU Pendidikan Kedokteran Pasal 1 Butir 9 menambahkan satu kategori lagi yang tak ada di UU Praktik Kedokteran Pasal 1 Ayat 2 terkait definisi dokter dan dokter gigi, yakni DLP.

Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi meluncurkan program pendidikan DLP. Itu bertujuan meningkatkan mutu layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama guna menekan angka rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut dan menekan beban pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional. Masa pendidikan 2 tahun setara program dokter spesialis.

Harapannya, DLP bisa menangani 155 jenis penyakit yang umum diderita warga. Itu lebih banyak 11 diagnosis penyakit dibandingkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 yang disusun Konsil Kedokteran Indonesia, yakni 144 diagnosis penyakit. “Untuk memenuhi 11 diagnosis penyakit, tak perlu menambah pendidikan dua tahun. Cukup masuk dalam perbaikan SKDI 2017,” kata Marsis.

Rawan gugatan

Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, penjelasan Pasal 8 Ayat 2 UU Pendidikan Kedokteran berpotensi membuat dokter umum digugat pengacara atau ditangkap polisi karena tak berkualifikasi DLP. Sebab, DLP disebut sebagai pelaku awal layanan kesehatan tingkat pertama. “Ini menjatuhkan nilai lulusan pendidikan dokter karena dianggap tak berkualifikasi pelaku awal,” ujarnya.

Guru Besar FKM UI Purnawan Junadi mengatakan, dibandingkan penerapan pendidikan DLP, pemerintah punya prioritas lain di hilir dan hulu layanan kesehatan. Di hilir, puskesmas jadi tulang punggung layanan primer sehingga waktu promotif dan preventif penyakit minim.

Karena penambahan FKTP swasta tak signifikan, puskesmas menerima 80 persen kunjungan pasien layanan primer, dan di klinik 20 persen. Idealnya, jumlah FKTP swasta setara puskesmas yang mencapai 9.815 unit.

Di hulu, pemerintah bertanggung jawab menekan kasus kesakitan melalui pencegahan penyakit. Itu perlu kerja sama lintas sektor, misalnya dengan sektor pendidikan untuk pengembangan usaha kesehatan sekolah.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR asal Fraksi Partai Golongan Karya Firman Soebagyo mendukung perbaikan UU Pendidikan Dokter. Jika pendidikan dokter dipersulit, dokter Indonesia akan kian susah bersaing dengan dokter asing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Untuk itu, ia mengusulkan pembentukan panitia kerja dan agar amandemen UU jadi inisiatif DPR. (JOG)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2016, di halaman 14 dengan judul “PB IDI Usulkan Revisi Undang-undang”.