Pengelolaan Keuangan PTN

Perguruan-Tinggi-Negeri-(PTN)

SYAMSUL RIZAL

17 November 2016

Dengan adanya dugaan kasus suap pemilihan rektor di beberapa perguruan tinggi negeri, kita perlu memikirkan bagaimana seharusnya PTN di kelola secara sehat.

Saya telah mengusulkan, sebaiknya tugas rektor sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) di universitas dihilangkan agar rektor dan seluruh jajarannya dan seluruh staf pengajar fokus melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi (PT), sesuai amanat UU Nomor 12 Tahun 2012 (Kompas, 1/11). Lalu siapa yang seharusnya mengelola keuangan di perguruan tinggi negeri (PTN)?

Pertanyaan ini penting kita jawab secara serius, dengan mempertimbangkan tiga hal. Pertama, kita harus membebaskan keterlibatan semua dosen dalam mengurus keuangan.

Kalau tidak, PTN kita tak mungkin bisa berkembang. Terlalu banyak persoalan timbul. Dosen yang berfungsi memegang kendali keuangan akan punya posisi tawar tinggi sekali. Posisi tawar ini sangat rawan disalahgunakan sehingga akan berujung rusaknya atmosfer akademik di PTN.

Kedua, semua dosen tanpa kecuali harus diarahkan untuk melaksanakan Tridharma PT. Ini artinya, tugas rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, dan seterusnya justru menjadi penghela bagaimana seharusnya Tridharma PT itu dijalankan. Pimpinan PTN inilah yang seharusnya menjadi jenderal di lapangan untuk mengatur strategi bagaimana PTN mereka bisa unggul dalam pelaksanaan Tridharma PT.

Ketiga, semua dosen di PTN seharusnya punya hak dan kewajiban sama di seluruh Tanah Air. Tak boleh ada dosen di PTN tertentu, karena PTN itu hebat, punya hak berbeda dengan dosen di PTN yang kurang hebat.

Analoginya harga BBM di Papua harus sama dengan di Ibu Kota. Intinya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat harus segera ditegak kan di seluruh Nusantara.

Selama ini, PTN di Indonesia dikelola keuangannya dengan tiga cara berbeda, sesuai dengan prestasi yang dimiliki tiap PTN: PTN lemah, sedang, ataupun kuat. Memang, berdasarkan UU No 12/2012 Pasal 65 dan PP No 4/2014 Pasal 27, pola pengelolaan PTN dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, PTN dengan pola pengelolaan keuangan negara pada umumnya atau dikenal dengan PTN satker atau PTN pola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pengelolaan dengan cara ini biasanya berlaku bagi PTN yang lemah.

Kedua, PTN dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (PTN-BLU). PTN yang menganut pengelolaan keuangan dengan cara ini adalah PTN yang berkualitas sedang. Ketiga, PTN sebagai badan umum (PTN-BH), yang polanya dipakai PTN kuat.

Dengan aturan yang seperti ini, tentu saja PTN kuat sangat diuntungkan karena memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya. Namun, pengelolaan keuangan dengan tiga cara berbeda ini terasa ganjil dan aneh sekali karena sangat jauh dari asas kepatutan dan keadilan. Karena PTN lemah akan bertambah lemah, dan PTN kuat akan semakin kuat. Padahal sila kelima Pancasila mengamanatkan kepada kita semua, untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dikelola secara terpusat

Saya berpendapat, sebaiknya semua PTN dikelola keuangannya secara terpusat oleh satu badan. Kita sebut saja Badan Pengelola Keuangan PTN. Badan ini bertugas mengelola keuangan di semua PTN dengan standar yang sama. Semua pengelola keuangan di PTN tunduk pada badan ini. Badan ini dan seluruh jajarannya tidak tunduk pada rektor. Hubungan badan ini dan rektor merupakan partner.

Ada beberapa keuntungan yang akan kita peroleh dengan adanya badan ini. Pertama, semua PTN akan dikelola dengan adil. Seluruh kegiatan akademik akan punya standar keuangan sama di seluruh Indonesia.

Seorang profesor yang berdiri di depan kelas, misalnya, akan memperoleh honorarium yang sama dengan semua profesor di PTN lain di seluruh Indonesia. Demikian juga standar infrastruktur seperti laboratorium, ruangan kelas, dan lain-lain akan lebih mudah untuk disamakan.

Kedua, selama ini pengelola keuangan dikepalai oleh rektor. Dengan adanya badan ini, rektor, dekan, dan seterusnya, hanya merencanakan. Sementara eksekusi akan dilakukan badan ini. Badan ini juga bisa memberikan feedbackkepada rektor, bagaimana sesuatu bisa direncanakan dengan baik karena badan ini mempunyai pengalaman dan rekan kerja di PTN lainnya.

Ketiga, pengelolaan keuangan akan lebih tepat sasaran dan terkontrol. Selama ini, misalnya,PTN sering disibukkan oleh urusan seremonial yang menguras waktu, tenaga, dan uang. Kegiatan seremonial yang besar tak mungkin dilakukan lagi karena badan ini pasti tak akan setuju karena uang yang banyak tak boleh dihamburkan kalau bukan untuk kegiatan Tridharma PT.

Selama ini, rektor tidak ada yang mengontrol. Dengan adanya badan ini, kebijakan rektor akan bisa dikontrol, dan sebaliknya kebijakan badan ini juga bisa dikontrol oleh rektor.

Keempat, rektor akan punya waktu banyak untuk memikirkan visi dan misi PTN dalam rangka melaksanakan Tridharma PT. Karena urusan pertanggungjawaban keuangan jadi urusan badan ini, rektor tak akan berhadapan lagi dengan BPK, BPKP, inspektorat, dan mungkin KPK.

Selama ini rektor beserta wakil rektor, dekan beserta wakil dekan dan seterusnya tak punya waktu lagi untuk melaksanakan Tridharma PT. Akibatnya, setelah selesai memimpin PT, apalagi sempat memimpin dua periode (delapan tahun), bisa dipastikan para pejabat di PTN akan berat sekali melakukan Tridharma PT, khususnya dharma kedua atau penelitian, karena tak sempat lagi membaca dan mengikuti perkembangan jurnal-jurnal penelitian mutakhir.

Dengan adanya badan ini, mereka masih bisa melakukan penelitian selama mereka menjabat pimpinan PTN.

Selama ini, KPK, dalam beberapa keterangannya, ingin mengurangi kasus korupsi dengan jalan preventif. Membangun organisasi atau badan ini tentu saja merupakan salah satu cara untuk melindungi pimpinan PTN dari kasus korupsi secara preventif. Di samping itu, badan ini juga bisa berfungsi mewujudkan pelaksanaan Pancasila, khususnya sila kelima.

SYAMSUL RIZAL, PROFESOR DI UNIVERSITAS SYIAH KUALA, BANDA ACEH; ALUMNUS UNIVERSITAET HAMBURG, JERMAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 November 2016, di halaman 7 dengan judul “Pengelolaan Keuangan PTN”.