KERJA SAMA RISET

screenshot_2016-09-29-03-08-29-1

Minat Industri Kembali Dibidik

29 November 2016

CANBERRA, KOMPAS — Keterlibatan industri dalam negeri, khususnya industri manufaktur, dalam riset nasional masih amat rendah. Kondisi itu akan membuat gencarnya pembangunan ekonomi tidak berkelanjutan. Pemerintah menyiapkan sejumlah kebijakan baru meningkatkan minat industri meriset, seperti peningkatan pengurangan pajak.

“Sudah ada pengurangan pajak satu kali dari dana riset yang terverifikasi yang dikeluarkan industri. Sejumlah negara tetangga sudah memberi pengurangan pajak 2-4 kali dari biaya riset industri,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro seusai pembukaan Simposium Sains Australia-Indonesia (AISS), dilaporkan wartawan Kompas, M Zaid Wahyudi, dari Canberra, Australia, Senin (28/11).

AISS forum yang mempertemukan ilmuwan senior dan muda dari Indonesia dan Australia. Turut hadir, Menteri Pembangunan Internasional dan Pasifik Australia Concetta Fierravanti-Wells, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Australia Andrew Holmes, dan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki.

Rendahnya keterlibatan industri tecermin dari data UNESCO 2016 yang menyebut dana riset industri Indonesia hanya 20-25 persen dari total belanja riset. Industri Indonesia lebih banyak merakit atau membeli hasil riset dan teknologi asing. Itu praktis dan murah, tetapi tidak menumbuhkan kemandirian.

Menurut Sangkot, keengganan industri meriset, khususnya riset dasar, karena anggapan beban investasi. Pengalaman negara maju, riset dasar tak hanya menghasilkan pengetahuan yang membuat industri berkelanjutan. Namun, menghasilkan tenaga ahli bidang industri.

“Hubungan industri dan peneliti juga menuntut kesiapan peneliti,” katanya. Selama ini, sebagian peneliti enggan bekerja sama dengan industri demi alasan independensi dan tak mau diatur industri. Sikap itu harus diubah karena peneliti dan industri saling membutuhkan.

Bambang mengatakan, pola pelibatan kembali industri dalam riset itu masih menggunakan pola triple helix atau keterlibatan akademisi, bisnis, dan pemerintah. Pola di sejumlah negara maju itu sebenarnya juga dilakukan di Indonesia beberapa dekade ini meski belum berhasil. Karena itu, pemerintah akan fokus menjalankan program itu dengan universitas tertentu dulu.

Pelibatan industri diharapkan mendorong peningkatan jumlah dana riset Indonesia yang masih 0,09 persen dari produk domestik bruto. Jumlah itu terendah di antara negara ASEAN dan salah satu dari dua negara dengan ekonomi besar anggota G-20 (bersama Arab Saudi) yang dana risetnya di bawah 0,1 persen PDB.

Australia-Indonesia

Kerja sama sains Australia-Indonesia sudah beberapa dekade. Sejumlah penelitian bersama sudah dilakukan, baik dari universitas, pemerintahan, maupun kelompok masyarakat madani. Topiknya beragam, mulai dari pengendalian penyakit menular, bisnis, pertahanan keamanan, hingga demokrasi.

“Kerja sama sains yang tidak mengenal batas-batas negara itu membuat Australia dan Indonesia bisa mengatasi tantangan bersama,” ujar Andrew.

Concetta menilai, riset bersama tidak hanya menghasilkan publikasi, tetapi mengatasi berbagai persoalan lokal dan global yang dihadapi Australia dan Indonesia, mulai ketahanan pangan dan perubahan iklim. Tujuan akhirnya, kesejahteraan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 November 2016, di halaman 14 dengan judul “Minat Industri Kembali Dibidik”.