Gempa di Zona Tak Terpetakan

screenshot_2016-12-08-05-51-09-1

8 Desember 2016

Sebagaimana gempa lain yang merusak, demikian pula gempa di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/12) pukul 05.03 WIB. Hingga Rabu malam, setidaknya 97 orang meninggal. Sekalipun Aceh punya rekam jejak panjang gempa, kali ini gempa terjadi di zona kegempaan yang belum terpetakan.

Kekuatan gempa tergolong menengah, yaitu 6,5 M. Berdasarkan perhitungan peneliti tsunami pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko, energi gempa itu setara enam kali bom atom di Hiroshima. “Menyebabkan keretakan kira-kira 30 km x 10 km dengan pergeseran 0,6 meter,” katanya.

Adapun menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Mochamad Riyadi, pusat gempa pada 5,25 Lintang Utara dan 96,24 Bujur Timur, tepatnya di darat, 106 kilometer tenggara Kota Banda Aceh. Gempa mempunyai mekanisme sesar mendatar (strike-slip fault).

Masih ada perdebatan sumber pembangkit gempa. Riyadi mengatakan, pembangkitnya Sesar Samalanga-Sipopok karena titik lokasi episenter analisis BMKG berdekatan jalur sesar itu. Namun, ahli gempa Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, beranggapan, sesar pembangkit gempa belum pernah terpetakan.

“Ini sesar baru yang belum ada dalam peta nasional gempa bumi,” kata Irwan. Sesar lokal tersebut merupakan percabangan Sesar Besar Sumatera, memanjang dari Teluk Semangko di Lampung hingga Pulau Sabang, lalu masuk perairan Andaman.

Selain berhadapan dengan zona subduksi lempeng yang memicu gempa raksasa diikuti tsunami pada 26 Desember 2004, Aceh memang dikepung banyak sesar darat.

Dibandingkan dengan gempa berkekuatan 9,1 M pada 26 Desember 2004, kekuatan gempa kali ini relatif kecil. Namun, pusat gempa di darat menyebabkan dampak guncangan kuat, hingga 15 detik, dan merusak banyak bangunan.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), 97 orang meninggal dan 536 orang luka berat dan ringan. Sebagian besar korban tertimpa bangunan. Banyaknya bangunan hancur dan korban jiwa jadi pelajaran penting bahaya gempa dangkal yang berpusat di sesar darat dan dekat perkotaan. Itu mengingatkan pada gempa berkekuatan 6,3 M di Yogyakarta tahun 2006 dan menimbulkan korban 5.000 orang lebih. Sebelumnya, gempa berpusat di darat juga melanda Aceh, di Dataran Tinggi Gayo 2 Juni 2013, yang menewaskan lebih dari 40 orang.

Berdasarkan data BMKG, dampak guncangan gempa di Pidie Jaya kali ini berintensitas III-IV Skala Intensitas Gempa (SIG) BMKG atau skala VI-VIII Modified Mercalli Intensity (MMI). Intensitas itu hampir sekuat gempa Yogyakarta pada 2006. Kuatnya guncangan terutama disebabkan sumber gempa di daratan dan termasuk dangkal, di kedalaman 15 km.

Kondisi tanah di sekitar lokasi pusat gempa berupa endapan pasir dan aluvial menambah efek guncangan. Namun, faktor paling menentukan adalah konstruksi bangunan tidak memenuhi standar.

“Jika dibangun sesuai standar, bangunan tembok bisa menahan guncangan gempa hingga skala IX MMI,” kata Sarwidi, ahli konstruksi bangunan yang juga Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia.

Selain belum populer, biaya membangun bangunan tahan gempa relatif mahal. Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, komponen bangunan tahan gempa 30-50 persen lebih mahal dibandingkan dengan bangunan konvensional.

Insentif khusus dinilai penting untuk merangsang banyaknya bangunan tahan gempa. Apalagi, Indonesia negara yang rentan tinggi terhadap gempa bumi.

Sepekan terakhir, BMKG mencatat enam gempa berkekuatan di atas 5,0 M. Rabu pukul 20.42, gempa berkekuatan 5,3 M muncul 54 kilometer timur laut Seram bagian barat. Sumber gempa 10 kilometer di laut tanpa potensi tsunami. (AIK/JOG/GSA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Desember 2016, di halaman 1 dengan judul “Gempa di Zona Tak Terpetakan”.

Baca juga :

Solidaritas untuk Aceh