Tindakan Tegas Menteri Ditunggu

Kasus Unima Dilaporkan ke Kantor Staf Presiden

20 September 2017

JAKARTA, KOMPAS — Tindakan tegas dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi terhadap kasus-kasus pelanggaran etika akademik di perguruan tinggi sangat ditunggu. Pembiaran terhadap kasus tersebut sama saja dengan membiarkan benteng integritas bangsa ini runtuh.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Laode Ida menyebutkan, pihaknya menunggu tindak lanjut dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi terkait temuan maladministrasi ijazah doktor Rektor Universitas Negeri Manado (Unima) Sulawesi Utara Julyeta Paulina Amelia Runtuwene.

“Kita berharap Menristek dan Dikti tak membiarkan runtuhnya benteng terakhir integritas bangsa ini. Jangan sampai Nawacita Presiden Joko Widodo tidak ditegakkan,” kata Laode, di Jakarta, Selasa (19/9).

Tanggal 12 Juni 2017, ORI menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Kemristek dan Dikti. Intinya merekomendasikan peninjauan kembali posisi Paulina sebagai rektor Unima. Namun, hingga kini belum ada laporan dari Kemristek dan Dikti atas tindak lanjut pemeriksaan maladministrasi yang dimaksud.

“Sejauh ini ini belum ada jawaban dari Kemristek dan Dikti mengenai tindak lanjut kasus tersebut,” tutur Laode.

Ke Presiden

Kasus ini juga sudah dilaporkan oleh anggota sivitas akademika Unima kepada Presiden. Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Theo Litaay, mengungkapkan, pihaknya sudah mendapatkan informasi hasil pemeriksaan ORI. “KSP menghargai laporan tersebut dan tentunya akan ditindaklanjuti oleh kementerian terkait,” ujar Theo saat dihubungi, Selasa.

Kepada Kompas di Jakarta beberapa hari lalu, mantan Humas Unima Hanny Massie, berharap Kemristek dan Dikti segera menindaklanjuti kesimpulan ORI terkait kasus dugaan ijazah palsu Rektor Unima.

“Salah satu simpulannya menyebutkan agar posisi rektor (Unima) ditinjau lagi. Tapi (sampai sekarang) tidak ada tindakan dari kementerian,” katanya.

Hanny bersama sejumlah dosen Unima, yaitu Rolles Palilingan, Lexi Lumingkewas, dan Evi Masengi, berharap kasus dugaan ijazah palsu rektor Unima segera diselesaikan. Mereka ingin nilai-nilai dan etika akademik tetap dijunjung tinggi di Unima.

Kejanggalan

ORI menemukan kejanggalan perkuliahan S-3 Paulina di Universite Paris Est Marne la Valle (UPMV). Penulisan disertasinya terindikasi dibuatkan oleh orang lain.

Paulina mengaku menempuh program S-3 jarak jauh yang murni berbasis riset di Indonesia. Bidang ilmu yang ditekuninya adalah komunikasi dan informatika.

Padahal, menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010, S-3 jarak jauh berbasis riset hanya bisa dilakukan jika perguruan tinggi di Indonesia memiliki jaringan kerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri.

Menurut Laode, UPMV tidak tercatat bekerja sama dengan universitas mana pun di Indonesia, termasuk dengan Unima. ORI telah meminta penjelasan dari Paulina. Namun, Paulina tidak bisa menunjukkan bukti perkuliahan jarak jauh, seperti surat tanda diterima sebagai mahasiswa di UPMV, modul kuliah, dan transkrip nilai.

Bahkan, bukti komunikasi melalui surat elektronik dengan dosen pembimbingnya, Henri Dou, pun tidak bisa ditunjukkannya.

ORI mempertanyakan alasan Kemdiknas mengesahkan penyetaraan ijazah Paulina pada Oktober 2010. Kementerian bahkan menyetujui pengangkatan Paulina sebagai Guru Besar Unima pada Agustus 2010, dua bulan sebelum ijazahnya disetarakan.

Pada masa itu, perguruan tinggi masih di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Mengingat perguruan tinggi sekarang dibawahi Kemristek dan Dikti, laporan pemeriksaan ORI dialamatkan pada Menristek dan Dikti Moh Nasir.

Menteri merespons

Menristek dan Dikti Mohamad Nasir, seusai Deklarasi Kebangsaan Melawan Radikalisme yang digelar Kopertis Wilayah III Jakarta, Selasa, menyatakan responsif dengan berbagai laporan kecurangan dan penyimpangan yang terjadi perguruan tinggi negeri maupun swasta.

“Sebagai contoh, jika ada laporan ijazah palsu, saya terbuka berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk ORI,” ujar Nasir.

Terkait kasus dugaan ijazah doktor yang palsu pada rektor Unima, Nasir kembali menyatakan persoalan tersebut peninggalan menteri sebelum dirinya menjabat Menristek dan Dikti.

Namun, ketika kasus tersebut dilaporkan kembali, awal 2016 dirinya membentuk tim untuk mengklarifikasi kebenarannya.

“Kami sudah jelaskan hasil temuan kepada ORI. Kami sudah berkomunikasi dengan perguruan tingginya, dengan Kedutaan Besar Perancis di Indonesia, termasuk Atase Dikbud Indonesia di Perancis. Kami sudah konfirmasi,” ujar Nasir.

Nasir tak menampik bahwa beragam persoalan terkait integritas akademik PT negeri dan swasta masih menjadi tantangan. “Persoalannya silih berganti. Dulu banyak kasus di PTS, sekarang mencuat di PTN. Saya tetap pada komitmen untuk membersihkan dan menertibkan PT dari kecurangan-kecurangan,” ujar Nasir.

Ketika disinggung kasus Universita Negeri Jakarta (UNJ), Nasir mengatakan tim yang dibentuk sedang mengolah dan merumuskan hasil temuan. “Minggu depan akan saya umumkan. Saya tidak mau ada kecurangan yang dilakukan PT,” tegas Nasir.

Tim Evaluasi Kinerja Akademis (EKA) Kemristek dan Dikti menemukan keganjilan pada pascasarjana UNJ. Menurut Nasir, Kemristek dan Dikti saat ini fokus untuk mengembangkan kualitas PT Indonesia menuju kelas dunia. Karena itu, tindakan-tindakan kecurangan atau penyimpangan yang tidak memperkuat mutu PT tidak ditolerir.

“Kami fokus agar publikasi PT bisa meningkat. Hasilnya sudah mulai baik. Saya minta semua direktur jenderal untuk mendorong pada mutu dan tidak mentolerir kecurangan,” kata Nasir.

Sembari menunggu tindak lanjut kasus Unima, ORI saat ini juga tengah memproses kasus maladministrasi di sejumlah perguruan tinggi lain, termasuk Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Sulawesi Tenggara.

Khusus untuk UNJ, ORI menerima aduan dugaan seputar nepotisme pengangkatan pejabat di universitas.

Adapun untuk UHO, ORI menerima aduan kasus plagiasi yang diduga dilakukan Rektor Universitas UHO Muhammad Zamrun Firihu. (ELN/SON/NAR/IKA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2017, di halaman 11 dengan judul “Tindakan Tegas Menteri Ditunggu”.