Silakan unduh:

Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

PP No. 40/2013: Negara Lindungi Saksi, Pelapor, Jaksa dan Hakim Kasus Pidana Narkotika
Oleh : DESK INFORMASI SETKAB  08 Juni 2013

Sesuai deng an amanat Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, untuk terciptanya efisiensi dan menciptakan peraturan perundang-undangan yang memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum dan masyarakat, pemerintah menerbitkan aturan tentang transito narkotika; pembinaan dan pengawasan; syarat dan tata dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium; tata cara perlindungan negara terhadap saksi pelapor, penyidik, penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika; dan tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 yang telah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Mei 2013 lalu, dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada tanggal yang sama.

PP ini memberikan payung hukum bagi pelaksanaan transit narkotika dari satu negara lain di wilayah pelabuhan-pelabuhan di tanah air. Syaratnya, dalam waktu 1X24 jam  setelah narkotika tiba di bandar udara, pelabuhan atau perbatasan negara, penanggung jawab wajib melaporkan narkotika yang ada  dalam penguasaannya kepada Kantor Bea dan Cukai setempat. Laporan dimaksud harus dilengkapi dengan dokumen atau SPE yang sah dari negara pengekspor dan dokumen atau SPI yang dari negara pengimpor.

“Kepala Kantor Bea dan Cukai wajib memberikan informasi adanya Transito Narkotika kepada Menteri Kesehatan. Selanjutnya Menteri Kesehatan meneruskan informasi itu kepada negara pengekspor narkotika, negara pengimpor narkotika, dan Badan Narkotika Internasional,”bunyi Pasal 3 Ayat (4) PP tersebut.

Disebutkan dalam PP ini, penanggung jawab pengangkut narkotika yang melakukan transito dilarang mengubah negara tujuan, kecuali ada perubahan SPE dari negara pengekspor dan SPI dari negara pengimpor.

Adapun pengemasan kembali terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan hanya dapat dilakukan setelah adanya pemeriksaan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) atas permintaan Kepala Bea dan Cukai, yang hasilnya harus dilaporkan kembali kepada Menteri Kesehatan untuk diteruskan kepada pemerintah negara pengimpor, negara pengekspor, dan Badan Narkotika Internasional.

Penyitaan

Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 ini menegaskan, kegiatan penyitaan oleh penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN), penyidik Polri, atau penyidik pegawai negeri sipil (PNS) dilakukan berdasarkan surat perintah penyitaan dan penyegelan, yang ditembuskan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri Kesehatan, dan Kepala BPOM.

“Barang sitaan, disisihkan sebagian kecil untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium tertentu yang terakreditasi,” bunyi Pasal 15 Ayat (1) PP tersebut. Adapun dalam hal terdapat sisa hasil Pengujian Sampel di laboratorium, petugas laboratorium wajib melakukan pembungkusan, pelabelan, untuk selanjutnya diserahkan kembali kepada penyidik BNN atau penyidik Polri.

Menurut PP ini dalam waktu 3 X 24 jam, penyidik BNN atau penyidik Polri wajib membertahukan dan meminta penetapan status barang sitaan kepada kepala kejaksaan negeri setempat. Selanjutnya, Kepala Kejaksaan Negeri wajib menetapkan status barang sitaan untuk kepentingan yang meliputi: a. Pembuktian perkara; b. Kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. Kepentingan pendidikan dan pelatihan; dan d. Dimusnahkan.

Diegaskan dalam PP ini, pemusnahan barang sitaan dilakukan oleh penyidik BNN dan penyidik Polri berdasarkan penetapan Kepala Kejaksaan Negeri setempat; dan jaksa berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

“Penyidik BNN dan penyidik Polri dapat melakukan pemusnahan barang sitaan berupa tanaman narkotika tanpa melalui penetapan kepala kejaksaan negeri setempat, termasuk: a. Sisa hasil pengujian sampel laboratorium atau; b. Setelah digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tidak digunakan lagi karena rusak atau tidak memenuhi persyaratan,” tegas Pasal 26 Ayat (2) PP No. 40/2013 ini.

Perlindungan Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 ini juga menegaskan, negara wajib memberikan perlindungan kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Polri, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

“Perlindungan juga berlaku bagi saksi ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya,” bunyi Pasal 35 Ayat (2) PP ini.

Perlindungan ini selain menyangkut pengamanan terhadap diri pribadi, keluarga, dan harta, juga menyangkut kerahasiaan identitas saksi dan pelapor; dan/atau pemberian keterangan saksi/pelapor dalam proses pemeriksaan perkara tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa.

“Perlindungan dilakukan oleh pejabat Polri yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal/tempat kerja Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Polri, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya,” bunyi Pasal 38 Ayat (1) PP ini.

Disebutkan dalam PP ini, segala biaya berkaitan dengan perlindungan terhadap Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Polri, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penuntut umum dan hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

(Pusdatin/ES)