Minggu, 01 Juni 2014 – 12:07 WIB
Presiden SBY Ajak Maknai Hari Kelahiran Pancasila dengan Teguh dan Cerdas


Oleh : Desk Informasi

Menyambut Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2014 ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk memaknainya dengan teguh dan cerdas.

“Mari maknai Hari Kelahiran Pancasila dengan teguh da cerdas seabagai open & living ideologi bagi dasar negara dan pedoman hidup bangsa Indonesia,” kata Presiden SBY melalui akun twitter pribadinya @SBYudhoyono yang diunggahnya Minggu (1/6) pagi.

Sementara melalui akun fan page facebooknya, Presiden menekankan pentingnya Pancasila seagai guidance bangsa menuju masa depan yang lebih baik.

“Pancasila, sebagai The Living Ideology, harus bisa menjawab, berperan, menjadi guidance bagi bangsa yang membangun dirinya menuju masa depan yang lebih baik,” tulis Presiden SBY dalam fan page facebooknya Susilo Bambang Yudhoyono yang diunggahnya pagi ini.

Kesepakatan Akbar

Sementara itu dalam Peringatan Hari Kelahiran Pancasila di Lapangan Balai Raya Semarak, Bengkulu, Minggu (1/6) pagi, Wakil Presiden (Wapres) Boediono menyampaikan proses lahirnya Pancasila yang digagas oleh Presiden pertama RI dan Bapak Proklamator Soekarno.

“Pancasila hadir di saat kegalauan melanda sekelompok pemuda yang tengah bersiap melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan,” kata Wapres yang hadir di acara tersebut bersama-sama Ibu Herawati Boediono dan Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto.

Menurut Wapres,  kegaulauan itu timbul menjelang puncak keberhasilan perjuangan para pemuda itu.  Untuk menyiapkan diri mereka, lanjut Wapres, diadakanlah suatu rembuk akbar yang dihadiri oleh tokoh-tokoh dari seluruh penjuru kepulauan.

Wapres menyebutkan, di tengah hiruk pikuk perhelatan para pemuda itu, muncul satu pertanyaan yang sangat mendasar:  apabila nanti merdeka, bagaimana negara baru itu akan diatur dan ditata? Pertanyaan lain kembali muncul, apa landasannya bagi manusia-manusia kepulauan yang berwarna-warni latar belakangnya itu untuk dapat hidup bersama sebagai satu komunitas besar, sebagai satu bangsa?

Keraguan terus menghinggapi pemikiran para tokoh yang tengah berkumpul itu. “Tentunya tidak seperti di jaman kerajaan lama yang dulu pernah menyatukan gugusan pulau ini.  Pasti tidak pula seperti di jaman penjajahan yang diruntuhkan. Lalu bagaimana?” ucap Wapres menceritakan kondisi saat itu.

Saat penuh keraguan seperti itu, tidak ada yang serta merta bisa memberi jawaban yang jelas kepada pertanyaan itu. Di tengah kegalauan itu, ucap Wapres, tampillah seseorang yang ternyata telah memikirkan lama mengenai hal itu.  “Jawaban itu begitu mengena dan dirumuskannya dengan begitu mempesona, sehingga sewaktu rumusan itu disampaikannya dalam rembuk akbar itu, tepuk tangan gemuruh menyambutnya,” kata Wapres. Dan rumusan itu pun diterima secara bulat.

“Rumusan itu ia beri nama Pancasila,” tutur Wapres.  Bahkan substansi kesepakatan akbar itu kemudian dikukuhkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hukum yang paling mendasar yang mengatur kehidupan bangsa dan negara kepulauan itu dan terekam dalam konstitusinya.

Bangsa kepulauan ini, kata Wapres, sejak lahirnya sangat menyadari adanya keberagaman adat, budaya, sukubangsa dan agama.  “Bangsa ini sangat menyadari bahwa eksistensinya ditentukan oleh apakah semua pihak mematuhi kesepakatan akbar tadi.  Bangsa ini juga sadar bahwa dengan berjalannya waktu, dengan bergantinya generasi, kesadaran itu bisa meluntur,” ujar Wapres.

Wapres mengingatkan bahwa bangsa ini tahu bahwa lunturnya kesadaran bersatu dalam kemajemukan bisa berakibat fatal bagi eksistensi bangsa.  “Oleh sebab itu bangsa ini menyadari bahwa dari waktu ke waktu sangat perlu untuk menyisihkan waktu untuk merenung sejenak dan mengingatkan kembali dirinya akan makna ikrar akbar yang melahirkan bangsa ini,” ucap Wapres.

Dalam kesempatan itu, Wapres Boediono sempat mengajak peserta peringatan untuk mendengarkan cuplikan pidato Bung Karno yang berisi :

Sulit sekali saudara-saudara pemersatuan rakyat Indonesia jikalau tidak didasarkan Pancasila. Tadi telah dikatakan oleh saudara Moh. Yamin.

Alangkah banyak macem agama disini, alangkah banyak macem aliran fikiran disini, alangkah banyak macem golongan disini, alangkah banyak macem suku disini, bagaimana mempersatukan aliran-aliran, suku-suku, agama-agama dan lain-lain sebagainya itu jikalau tidak diberi satu dasar yang mereka bisa bersama-sama berpijak diatasnya dan itulah saudara-saudara Pancasila.

Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto dalam sambutannya mengatakan bahwa melalui Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 ingin menegaskan kembali bahwa Pancasaila adalah filosofi negara. “Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 disampaikan dengan semangat kebangsaan ketika membicarakan dasar negara. Oleh karena itu, Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 bukan momentum seremonial tetapi juga keharuan dan kehormatan saat anak bangsa menggali dan merumuskan Pancasila,” ujar Ketua MPR RI.

Acara yang diselenggarakan di Lapangan Balai Raya Semarak itu dihadiri pula oleh Ketua DPD RI Irman Gusman, Wakil Ketua MPR RI Melani Leimena Suharli, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris, Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) Provinsi Bengkulu, serta tokoh-tokoh masyarakat.

Usai mengikuti Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni, Wapres beserta rombongan menuju ke Rumah Pengasingan Bung Karno yang terletak di Jalan Jeruk yang telah berubah menjadi Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.. Bung Karno berada di Rumah Pengasingan ini pada tahun 1938-1942. (Setwapres RI/E)