PEMERKOSA

Jiwa-jiwa yang Kerdil

M ZAID WAHYUDI
24 Mei 2016

Sebulan terakhir, pemerkosaan perempuan merebak di sejumlah daerah. Kejadian itu seolah mengulang maraknya pemerkosaan anak laki-laki dua tahun lalu. Namun, penanganan kejahatan kemanusiaan itu masih sporadis, berkutat pada proses penghukuman dan abai mencegah terus berjatuhannya korban.

Inilah kejahatan manusia paling brutal sejak zaman purba. Pemerkosaan tak hanya demi menunjukkan dominasi jender dan kelas, tetapi juga alat politik atas nama kebencian dan penghilangan etnis tertentu.

Pandangan kuno yang bias jender menganggap pemerkosaan sebagai kejahatan atas kepemilikan, merampas keperawanan seseorang yang dianggap milik orangtua. Pemerkosaan dinilai jadi upaya mempertontonkan kekuasaan lelaki yang dalam pandangan banyak budaya dianggap superior.

Sebagai kejahatan atas integritas manusia, pemerkosaan jadi soal kompleks. “Memaknai pemerkosaan semata urusan seksual, khususnya persetubuhan, mereduksi kompleksitas masalah,” kata dosen psikologi klinik Fakultas Psikologi UI, Nathanel Sumampouw, di Jakarta, Jumat (20/5).

Psikiater yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD dr Soetomo, Surabaya, Nalini Muhdi, mengatakan, pemerkosa bukan ingin mencari kepuasan seksual. Pemerkosa ialah orang yang butuh menunjukkan dominasi atas ketidakberdayaan orang lain melalui tindakan seksual. “Seksualitas hanya jadi alat,” ujarnya.

Pemerkosa biasanya memiliki sindrom inferioritas amat kuat dan citra diri (self esteem) buruk. Dengan memerkosa, mereka ingin meninggikan rasa percaya diri. Jadi, pemerkosaan tak hanya soal ketidakmampuan menahan nafsu, tetapi ada yang salah dalam jiwa pelaku.

“Masalah pemerkosa itu ada di antara telinga, bukan di antara pangkal paha,” kata Richard Seely, Direktur Program Penanganan Intensif Agresivitas Seksual Minnesota, AS, dalam artikel “The Mind of The Rapist”, Newsweek, 22 Juli 1990.

Hal itu didukung riset Howard Barbaree yang dikutip Daniel Goleman dalam “New Studies Map The Mind of The Rapist”, nytimes.com. 10 Desember 1991. Pemerkosa biasanya marah, depresi, dan merasa tak berharga beberapa saat sebelum pemerkosaan terjadi. Saat ada perempuan calon korban membuatnya marah, maka pemerkosaan terjadi.

Karena soal superioritas, lanjut Nalini, pemerkosaan tak terkait dengan seks bebas, legalisasi prostitusi, status perkawinan, apalagi cara perempuan berperilaku ataupun berbusana.

Buktinya, di negara-negara yang membebaskan urusan seksual warganya, negara yang membolehkan membeli cinta, atau negara yang mengatur ketat tindak tanduk dan busana perempuan, tingkat pemerkosaannya bisa tetap tinggi.

Banyak pula pemerkosa yang sejatinya beristri atau bisa membeli seks. Namun, mereka tak bisa menyalurkan hasrat seksualnya karena istri atau penjaja cintanya lebih superior.

Penyebab

Inferioritas pemerkosa dipicu banyak hal, mulai dari pola asuh yang membuat mereka merasa kerdil, tak berdaya mengatasi masalah atau kesulitan hidup, budaya, hingga trauma masa kecil. Berbagai faktor biopsikososial itu membuat profil psikologi pemerkosa amat bervariasi.

Meski punya ibu, pemerkosa tetap tega menyakiti korban karena mereka bisa jadi berpandangan salah atas ibunya. Kekerasan dan perendahan ibu atau perempuan bisa ditangkap anak sebagai cara benar memperlakukan perempuan.

content

Terkait trauma masa kecil, anak korban kejahatan seksual bisa menjadi pelaku pemerkosaan di masa depan. Itu tak otomatis, bergantung pada penanganan dan dukungan sosial setelah pemerkosaan.

Robert Prentky dari Sekolah Kedokteran Universitas Boston menilai, 23 persen pemerkosa ialah tipe oportunis yang memerkosa secara impulsif atau bergerak sesuka hati dan jarang tertangkap. Adapun 25 persennya ialah pemerkosa digerakkan fantasi romantis aneh dan biasanya tertangkap.

Bagian terbesar, 32 persen, adalah pemerkosa pendendam yang biasanya menyakiti demi menjatuhkan martabat korban. Selanjutnya, 11 persen pemerkosa marah atas dunia hingga membenci laki-laki dan perempuan. Sisanya, pemerkosa sadis yang terobsesi penderitaan korban, kian menderita korban, pemerkosa makin terangsang.

Dari semua profil psikologi pemerkosa, mereka punya kesamaan, memiliki pandangan bias jender. “Meyakini dan menghayati pria superior, punya hak istimewa atas perempuan, dan perempuan lebih rendah daripada lelaki,” ujar Nathanael.

Untuk pemerkosaan beramai-ramai, lebih dari satu pelaku, proses kelompok seperti tekanan atau penyesuaian norma kelompok berpengaruh. Akibatnya, pemerkosaan lebih intens karena seolah tanggung jawabnya terbagi. “Sesuatu yang dilakukan bersama membuat tanggung jawab personal turun sehingga pemerkosaan lebih impulsif,” kata Nalini.

Pemicu

Pemerkosaan akan terjadi jika seseorang yang memiliki berbagai faktor risiko biopsikososial itu menemukan pencetus. Misalnya, tontonan pornografi, minuman alkohol, hadirnya korban atau kontrol sosial lemah.

Alkohol dan pornografi bukan penyebab pemerkosaan, tetapi pencetus. Saat mabuk, pertimbangan seseorang turun. Akibatnya, saat ada calon korban, mereka mudah melampiaskan superioritas, tak peduli korban itu cantik, memiliki kesempurnaan fisik ataupun tidak.

Demikian pula pornografi. Dia merusak otak dan memengaruhi jiwa seseorang. Pornografi yang intens mendorong perendahan perempuan. Namun, itu tak langsung membuat pornografi jadi penyebab pemerkosaan. “Kemampuan mengelola hasrat dan mengatur emosi, mengembangkan pemikiran non-kekerasan dan bertingkah positif bisa dilatih,” kata Nathanael.

Hukuman

Menurut kompleksitas pemerkosaan, hukuman pemerkosa, khususnya yang muda, seharusnya tak hanya menimbang efek jera, tetapi juga perlu rehabilitasi pelaku. “Perlu pemidanaan, tetapi harus ada koreksi demi mencegah kambuhnya perilaku,” katanya.

Namun, rehabilitasi pelaku terkendala terbatasnya psikiater, psikolog klinik, atau pekerja sosial yang paham kesehatan jiwa. Dalam banyak kasus, terapi bagi korban kejahatan seksual saja banyak yang tak tertangani.

Pengebirian bisa jadi alternatif, khususnya pada pemerkosa dengan gangguan hormonal hingga tak bisa mengontrol hasrat seksual. Namun, prosedur etis harus diperhatikan dan berdasar persetujuan pemerkosa.

Namun, Nalini mengingatkan, kebiri bagi pemerkosa kontroversial di negara mana pun. Hukuman itu dinilai tak arif karena pemerkosa belum tentu punya soal seksual, tetapi jiwanya. Jadi, mereka masih bisa berbuat kekerasan dan kejahatan nonseksual. “Hal utama, penegakan hukum yang memicu efek jera dan melindungi korban,” ujarnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Jiwa-jiwa yang Kerdil”.

Baca juga :

Pemerkosa Dipidana Mati
Presiden Tanda Tangani Perppu Perlindungan Anak