Kehati Rentan Diambil Asing

images

Waspadai Kerja Sama Riset dengan Peneliti Luar Negeri

22 Februari 2017
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya pemahaman dan perhatian tentang nilai-nilai keanekaragaman hayati menyebabkan hasil kerja sama riset lebih banyak dikuasai pihak asing. Selain produk hasil riset yang dimiliki, sejumlah sumber daya hayati Indonesia diklaim oleh negara lain.

Kondisi itu berlangsung hingga kini. Lemahnya pengawasan setelah riset juga memberi peluang bagi pihak asing untuk menguasai hasil riset tentang keanekaragaman hayati (kehati) Indonesia mulai dari hulu sampai hilir.

Hal itu dipaparkan Rosichon Ubaidillah, Kepala Laboratorium Entomologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada temu media “Perkembangan Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya” di Jakarta, Selasa (21/2).

“Kita kurang peduli nilai-nilai kehati untuk berbagai keperluan, seperti pangan, obat, dan perbaikan lingkungan. Akibatnya, kita begitu mudah meloloskan hasil riset tentang kehati sehingga orang asing lebih menguasainya,” kata Rosichon yang juga anggota Majelis Profesor LIPI.

Selama ini, sejumlah produk obat di luar negeri dikembangkan dari sumber daya hayati Indonesia, misalnya vaksin flu burung dan produk obat lain dari keragaman hayati Indonesia yang diklaim pihak asing.

Contoh lain adalah bunga anggrek (Phalaenopsis) yang dikembangkan dan jadi penghasil devisa di Taiwan. “Anggrek di Taiwan itu asal genetikanya dari Indonesia,” kata Rosichon.

Sejak pemerintahan Orde Baru, banyak riset yang dihasilkan terkait sumber daya hayati. Namun, mayoritas hasil riset itu hanya jadi dokumen, tak ditindaklanjuti. “Orang asing lebih menguasai informasi keanekaragaman hayati Indonesia karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi terkait hal itu. Jadi, mereka lebih tahu pemanfaatan ke depan,” ujarnya.

Ancaman

Kondisi itu dapat jadi ancaman bagi ketahanan nasional. Apalagi jika masyarakat dan pemerintah tidak meningkatkan pengetahuan, kepedulian, dan komitmen menjaga sumber daya hayati serta memanfaatkannya bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Selama ini, Rosichon mengungkapkan, tiap tahun ada sekitar 700 proposal untuk kerja sama riset dengan peneliti asing dengan melibatkan sekitar 5.000 periset asing. Menurut aturan penelitian, hal itu harus melalui prosedur yang melibatkan sejumlah kementerian atau lembaga terkait, diteruskan ke LIPI apakah diterima atau tidak.

Prinsipnya, harus ada mitra perguruan tinggi dari Indonesia, nota kesepahaman, dan perjanjian transfer bahan (MTA). Selama itu dipenuhi dan ada kepentingan bagi Indonesia, proposal akan diloloskan.

Akan tetapi, ada kerja sama riset dengan modus tertentu karena syarat tak terpenuhi. Contohnya, kerja sama pendidikan Indonesia dan Amerika Serikat yang dilakukan sebuah universitas di Bali mensyaratkan mengoleksi sumber daya hayati. Dalam kerja sama itu, penelitiannya dilakukan di laut. “Apa logis kalau peneliti mereka dilatih mengoleksi sumber daya hayati laut, tetapi cara koleksi itu pindah-pindah. Itu harus diwaspadai,” katanya.

Investasi jangka panjang

Ke depan, selain harus melakukan penelitian mandiri, pemerintah perlu memberi perhatian penuh dan menjadikan sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia sebagai investasi jangka panjang. Karena itu, pemerintah harus memiliki peta jalan industri berbasis sumber daya hayati.

“Sumber daya hayati kita merupakan aset bangsa yang bisa menghasilkan devisa dan cadangan untuk pembangunan, selain pertambangan dan sumber daya alam lainnya. Itu belum digali sepenuhnya,” ujarnya.

Terkait dengan revisi UU No 5/1990, Rosichon berharap revisi itu memuat pokok-pokok perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan berkelanjutan dari genetika, spesies, dan ekosistem.

Andri Santosa, Koordinator Kelompok Kerja Konservasi dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, menambahkan, revisi UU No 5/1990 yang menjadi agenda Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2017 hendaknya mengatur spesies dan ekosistem sumber daya genetik. Aturan perundang-undangan itu juga seharusnya memuat strategi konservasi baru, kawasan konservasi, dan kewenangan pengelolaan sumber daya hayati.

“Selain itu, harus diperhatikan soal pendanaan konservasi, partisipasi warga, termasuk masyarakat adat, sanksi, serta sengketa dan konflik,” ujar Andri. (SON)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Kehati Rentan Diambil Asing”.